CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 26 Maret 2013

Di Suatu Senja [CONT]

Noni pulang dari sekolahnya, kulihat dia membawa beberapa gulungan kertas, mungkin itu tugas dari sekolah. Kulihat juga ada segerombolan anak perempuan seusia Noni, temannya mungkin, sedang ngobrol ngalo-ngidul. Bicara model, artis, gossip, ini, itu. Sungguh, asli sangat gaduh. Tiba-tiba segerombolan anak laki-laki sebaya mereka mendekat. Dan bertambah ributlah keadaan. Para lelaki itu dengan senang hati mengganggu mereka. Sedangkan mereka pun juga dengan senang hati mau diganggu. Sesekali gerombolan anak laki-laki itu mencoba menggoda Noni. Mengajaknya bicara, menyapa, bertanya, tapi Noni tetap acuh, tak peduli sama sekali. Diam-diam aku mengumpat, rasakan.. kalian pantas diacuhkan..
Aku salut dengan Noni yang bisa tegas terhadap gerombolan para lelaki itu. Pak majikan hanya bisa menggeleng kepala serta lirih bergumam,
“Dasar, anak muda zaman sekarang.”
Tak berapa lama, gerombolan anak-anak sekolah tadi sudah pergi. Tinggal Noni seorang yang ada.
“Paman, tidak letih kah Paman bekerja?” ucap Noni pada Pak majikan.
“Meskipun letih, Nak. Aku tetap tidak akan mengeluh.”
“Sungguh Paman, aku mengkhawatirkan keadaanmu dan rekanmu ini.” Ia mencoba mengutarakan isi hati.
“Yah, beginilah Nak. Mungkin memang sudah saatnya aku dan si coklat ini berhenti bekerja. Tapi, nanti kami ini mau dapat makan dari mana…” kesahnya. Dari raut mukanya tersirat rasa sedih dan gundah. Coklat, ia memanggilku dengan sebutan itu karena warna kulitku yang coklat tua. Ya, coklat yang tua. Kebisuan tercipta diantara kami. Noni memandang prihatin ke arah Pak majikan, juga memandangku barangkali.
“Ya sudah, Paman. Aku pulang dulu. Paman hati-hati di jalan ya… Ingatlah paman, pertolongan Allah itu dekat dan rencana-Nya selalu indah.” Noni mengucapkan kata pamitan.
“Ya Nak, kamu anak yang baik. Aku juga tahu Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Ucapnya, sesungging senyum pun menghiasi wajah rentanya yang dimakan waktu. Aku senang Pak majikan tidak terlalu berlarut dalam kesedihan.
“Aku pamit, Paman. Assalamu’alaikum.” Noni berjalan menyusuri gang menuju rumahnya.
“Wa’alaikumsalam…”
“Noni itu baik ya? Sekarang sudah jarang ada gadis yang masih santun sama orang tua.” Ucap Pak majikan memuji dan terlihat sayang. Aku pun diam-diam membenarkan pernyataannya dalam diam.
Aku dan pak majikan menikmati perjalanan pulang. Hari kian senja, matahari sudah di ufuk barat. Merah saga menghias langit senja temaram. Dan mungkin karena letih bekerja dari pagi hingga petang. Entah, aku merasa tiba-tiba tidak enak badan. Aku seperti tak kuat lagi untuk melanjutkan perjalanan sedangkan jalan menuju rumah masih lumayan jauh. Berulang kali Pak majikan menyemangatiku untuk bertahan. Aku pun tak ingin menyusahkan Pak majikan, tapi apa daya. Kekuatan bertahanku semakin lama semakin menipis, habis bahkan.
Saking lemahnya, aku pun tergelincir, dan jatuh tersungkur ke dalam jurang yang curam. Pak majikan tak sanggup lagi mengendalikanku. Aku merasa bersalah, harusnya dia tidak ikut jatuh bersamaku. Kurasakan kepalanya terbentur setirku. Darah segar menetes membasahi kerah bajunya. Aku terguling beberapa kali, dan Pak majikan berkali-kali melafadzkan nama Allah. Kulihat ia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi.
“Allah… Allah… Laa illa ha illallah…” samar kudengar ia melafadzkan tahlil. Dan aku pun sekarat. Pak majikan memejamkan matanya, rapat. Aku tahu Sang Pencipta telah memanggilnya. Inikah rencana-Nya? Ya, inilah rencana indah-Nya. Aku telah menjadi sebuah rongsokan yang masuk ke dalam jurang dalam peristiwa kecelakaan tunggal.

------------------- * -- * -------------------

Keesokan hari, pagi seperti biasa. Tapi tidak untuk pagi ini. Pagi kali ini tidak ada lagi Pak Hasyim dengan kol coklat tuanya. Berita duka telah menyebar bahwa Pak Hasyim dan kol tuanya kecelakaan masuk jurang karena ban kol coklat yang tergelincir. Tidak ada lagi yang mengantar ibu-ibu itu pergi ke pasar, dan juga Noni. Tidak ada lagi yang mengantar Noni ke sekolah. Noni teringat ucapan Pak Hasyim tentang berhenti bekerja.
“Mungkin memang sudah saatnya aku dan si coklat ini berhenti bekerja…” Sekarang Noni tak tahu harus naik apa lagi untuk pergi ke sekolah, karena memang akses jalan yang sulit di desa ini. Dengan pias ia berjalan berangkat ke sekolah lebih pagi sekali. Ya, kembali jalan kaki.

The End

Selasa, 26 Maret 2013

Di Suatu Senja [CONT]

Posted by : Ndug Ayu di 19.37 0 Comments

Noni pulang dari sekolahnya, kulihat dia membawa beberapa gulungan kertas, mungkin itu tugas dari sekolah. Kulihat juga ada segerombolan anak perempuan seusia Noni, temannya mungkin, sedang ngobrol ngalo-ngidul. Bicara model, artis, gossip, ini, itu. Sungguh, asli sangat gaduh. Tiba-tiba segerombolan anak laki-laki sebaya mereka mendekat. Dan bertambah ributlah keadaan. Para lelaki itu dengan senang hati mengganggu mereka. Sedangkan mereka pun juga dengan senang hati mau diganggu. Sesekali gerombolan anak laki-laki itu mencoba menggoda Noni. Mengajaknya bicara, menyapa, bertanya, tapi Noni tetap acuh, tak peduli sama sekali. Diam-diam aku mengumpat, rasakan.. kalian pantas diacuhkan..
Aku salut dengan Noni yang bisa tegas terhadap gerombolan para lelaki itu. Pak majikan hanya bisa menggeleng kepala serta lirih bergumam,
“Dasar, anak muda zaman sekarang.”
Tak berapa lama, gerombolan anak-anak sekolah tadi sudah pergi. Tinggal Noni seorang yang ada.
“Paman, tidak letih kah Paman bekerja?” ucap Noni pada Pak majikan.
“Meskipun letih, Nak. Aku tetap tidak akan mengeluh.”
“Sungguh Paman, aku mengkhawatirkan keadaanmu dan rekanmu ini.” Ia mencoba mengutarakan isi hati.
“Yah, beginilah Nak. Mungkin memang sudah saatnya aku dan si coklat ini berhenti bekerja. Tapi, nanti kami ini mau dapat makan dari mana…” kesahnya. Dari raut mukanya tersirat rasa sedih dan gundah. Coklat, ia memanggilku dengan sebutan itu karena warna kulitku yang coklat tua. Ya, coklat yang tua. Kebisuan tercipta diantara kami. Noni memandang prihatin ke arah Pak majikan, juga memandangku barangkali.
“Ya sudah, Paman. Aku pulang dulu. Paman hati-hati di jalan ya… Ingatlah paman, pertolongan Allah itu dekat dan rencana-Nya selalu indah.” Noni mengucapkan kata pamitan.
“Ya Nak, kamu anak yang baik. Aku juga tahu Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Ucapnya, sesungging senyum pun menghiasi wajah rentanya yang dimakan waktu. Aku senang Pak majikan tidak terlalu berlarut dalam kesedihan.
“Aku pamit, Paman. Assalamu’alaikum.” Noni berjalan menyusuri gang menuju rumahnya.
“Wa’alaikumsalam…”
“Noni itu baik ya? Sekarang sudah jarang ada gadis yang masih santun sama orang tua.” Ucap Pak majikan memuji dan terlihat sayang. Aku pun diam-diam membenarkan pernyataannya dalam diam.
Aku dan pak majikan menikmati perjalanan pulang. Hari kian senja, matahari sudah di ufuk barat. Merah saga menghias langit senja temaram. Dan mungkin karena letih bekerja dari pagi hingga petang. Entah, aku merasa tiba-tiba tidak enak badan. Aku seperti tak kuat lagi untuk melanjutkan perjalanan sedangkan jalan menuju rumah masih lumayan jauh. Berulang kali Pak majikan menyemangatiku untuk bertahan. Aku pun tak ingin menyusahkan Pak majikan, tapi apa daya. Kekuatan bertahanku semakin lama semakin menipis, habis bahkan.
Saking lemahnya, aku pun tergelincir, dan jatuh tersungkur ke dalam jurang yang curam. Pak majikan tak sanggup lagi mengendalikanku. Aku merasa bersalah, harusnya dia tidak ikut jatuh bersamaku. Kurasakan kepalanya terbentur setirku. Darah segar menetes membasahi kerah bajunya. Aku terguling beberapa kali, dan Pak majikan berkali-kali melafadzkan nama Allah. Kulihat ia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi.
“Allah… Allah… Laa illa ha illallah…” samar kudengar ia melafadzkan tahlil. Dan aku pun sekarat. Pak majikan memejamkan matanya, rapat. Aku tahu Sang Pencipta telah memanggilnya. Inikah rencana-Nya? Ya, inilah rencana indah-Nya. Aku telah menjadi sebuah rongsokan yang masuk ke dalam jurang dalam peristiwa kecelakaan tunggal.

------------------- * -- * -------------------

Keesokan hari, pagi seperti biasa. Tapi tidak untuk pagi ini. Pagi kali ini tidak ada lagi Pak Hasyim dengan kol coklat tuanya. Berita duka telah menyebar bahwa Pak Hasyim dan kol tuanya kecelakaan masuk jurang karena ban kol coklat yang tergelincir. Tidak ada lagi yang mengantar ibu-ibu itu pergi ke pasar, dan juga Noni. Tidak ada lagi yang mengantar Noni ke sekolah. Noni teringat ucapan Pak Hasyim tentang berhenti bekerja.
“Mungkin memang sudah saatnya aku dan si coklat ini berhenti bekerja…” Sekarang Noni tak tahu harus naik apa lagi untuk pergi ke sekolah, karena memang akses jalan yang sulit di desa ini. Dengan pias ia berjalan berangkat ke sekolah lebih pagi sekali. Ya, kembali jalan kaki.

The End