CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 04 Februari 2013

education talking time~


“Setiap anak itu, apapun dan bagaimanapun dia.. berhak dapatkan pendidikan yang terbaik.”

Seperti yang kita tau, di dunia ini gak hanya anak-anak yang ‘normal’ aja yang bisa mengenyam enaknya pendidikan. Normal dalam artian fisiknya, ekonominya, keadaannnya dan semua yang ‘normal’. Padahal, kalo kita keluar dari zona nyaman kita, diluar sana banyaaakk banget anak-anak yang—lemme say—gak normal. Gak normal disini dalam hal fisiknya, IQ-nya, ekonominya, keadaannya dan banyak juga faktor lain yang menyebabkan ia menjadi anak yang gak normal. Sehingga entah karena mindset masyarakat kita ato apa, yang memunculkan anggapan dan fakta kalo mereka kita tinggalkan, lupakan, dan sering masyarakat kita tuh kurang dan hampir tidak sadar kalo mereka sebenernya juga butuh dan punya hak untuk mendapatkan pendidikan.
Pernah gue baca berita di sebuah surat kabar, disitu diceritakan ada seorang kakek-kakek di China yang mendirikan sekolah untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus. Kebutuhan khusus disini dilihat dari segi fisik, IQ dan mental mereka. Bermula dari pengalaman cucunya yang tidak diterima di sekolah manapun di daerahnya, di sekolah berkebutuhan khusus yang ada sekalipun. Ia pun berusaha mendidik cucunya sendiri, ia belajar dan sekolah lagi untuk mendalami ilmu tentang pendidikan anak berkebutuhan hingga ia bisa mendirikan sekolah sendiri meski diawal pendirian, sekolah tersebut belum memiliki tempat yang permanen dan masalah pasti yaitu finansial. Sang kakek berfikir, meskipun cucunya mengalami keterlambatan mental, tapi ia berhak mendapatkan pendidikan untuk menanggulangi bukannya malah diabaikan. Tapi sayang, gue lupa nama kakek itu siapa. -_- bentar ya.. gugling dulu.. :D
Adalagi kisah, kemarin habis liat suatu acara di stasiun televisi swasta, dikisahkan anak ibu-ibu penjual gula aren itu putus sekolah dan mengalami gangguan jiwa karena frustasi putus sekolah. Putus sekolahnya sang anak bermula dari nunggaknya bayaran SPP selama 3 bulan, sang ibu mencoba membesarkan hati sang anak bahwa beliau akan segera membayar tunggakan tersebut. Tetapi, apa yang terjadi keesokan harinya adalah sang anak tidak diperkenankan masuk sekolah oleh gurunya lantaran tunggakan SPP tersebut belum dibayar. Padahal sang ibu sudah beri’tikad baik dan berusaha untuk segera membayar. Akhirnya sang anak pulang dan merasa down, ia bilang kepada ibunya kalau sudah tidak mau sekolah lagi. Sejak saat itu, entah karena diolok-olok teman atau apa, sang anak mengalami gangguan kejiwaan. Ironis memang, disaat semangat seseorang untuk belajar harus terhenti begitu saja karena hal—yang menurut gue—masih bisa diselesaikan dengan berbagai kebijakan. Hal itu bikin gue jadi mellow—beruntung ya gue masih bisa disekolahin oang tua sampe saat ini—ya, bersyukur.
Yang bikin gue miris, kenapa sang guru gak berusaha untuk bernegosiasi dengan pihak orang tua anak tadi mengenai tunggakan SPP. Kenapa langsung tidak mempebolehkan anak itu untuk masuk sekolah tanpa pengertian yang lebih halus atau yaa.. bisa disiasatilah.. kan si anak masih kecil. Masih SD. Kalo menurut gue, harusnya pihak sekolah itu, buat semua sekolah ajalah, kalo mau bicarain finansial tuh langsung sama orang tua aja deh. Biar sang anak tuh fokus sama pelajaran sama prestasi dia. Pendapat yang kaya gitu sebenernya gue denger dari guru SMA gue yang gue favorit-in dan gue setuju. Beliau berpendapat kalo anak itu gak semestinya tau tentang masalah finansial yang dihadapi para orang tua. Tapi dipahamkan tentang bagaimana memilih dan memilah yang paling penting, cukup penting sampai ke hal yang tidak penting. Dan kalopun orang tua belum bisa menuhin apa yang anak minta, kasih pengertian ke anak dengan bahasa anak kalo belum bisa dan beri pendidikan tentang keinginan dan kebutuhan. Nahlo.. gue jadi kemana-mana nih ngomongnya..
Kembali ke laptop! *ala tukul arwana*
Dari kedua contoh itu, kita bisa ambil pendapat. Kalo seperti yang gue tulis diawal tulisan ini: “Setiap anak itu, apapun dan bagaimanapun dia.. berhak dapatkan pendidikan yang terbaik.”
Dan layak, kata temen gue waktu gue post statement itu di akun twitter. Coba deh dipikir lagi, bener kan? Gimanapun ia, anak itu ciptaan Tuhan juga.. sama. Jadi, menurut gue gada alasan buat ngebedain pendidikan anak, baik yang kita kata normal maupun yang tidak. Karna dengan pendidikan-lah seorang anak bis dibentuk kepribadian dan jatidirinya. Menjadi pribadi yang pantas untuk menghormati dan dihormati. Hanya dengan pendidikan yang “not only teach but also educate.”

0 komentar:

Posting Komentar

Senin, 04 Februari 2013

education talking time~

Posted by : Ndug Ayu di 23.16


“Setiap anak itu, apapun dan bagaimanapun dia.. berhak dapatkan pendidikan yang terbaik.”

Seperti yang kita tau, di dunia ini gak hanya anak-anak yang ‘normal’ aja yang bisa mengenyam enaknya pendidikan. Normal dalam artian fisiknya, ekonominya, keadaannnya dan semua yang ‘normal’. Padahal, kalo kita keluar dari zona nyaman kita, diluar sana banyaaakk banget anak-anak yang—lemme say—gak normal. Gak normal disini dalam hal fisiknya, IQ-nya, ekonominya, keadaannya dan banyak juga faktor lain yang menyebabkan ia menjadi anak yang gak normal. Sehingga entah karena mindset masyarakat kita ato apa, yang memunculkan anggapan dan fakta kalo mereka kita tinggalkan, lupakan, dan sering masyarakat kita tuh kurang dan hampir tidak sadar kalo mereka sebenernya juga butuh dan punya hak untuk mendapatkan pendidikan.
Pernah gue baca berita di sebuah surat kabar, disitu diceritakan ada seorang kakek-kakek di China yang mendirikan sekolah untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus. Kebutuhan khusus disini dilihat dari segi fisik, IQ dan mental mereka. Bermula dari pengalaman cucunya yang tidak diterima di sekolah manapun di daerahnya, di sekolah berkebutuhan khusus yang ada sekalipun. Ia pun berusaha mendidik cucunya sendiri, ia belajar dan sekolah lagi untuk mendalami ilmu tentang pendidikan anak berkebutuhan hingga ia bisa mendirikan sekolah sendiri meski diawal pendirian, sekolah tersebut belum memiliki tempat yang permanen dan masalah pasti yaitu finansial. Sang kakek berfikir, meskipun cucunya mengalami keterlambatan mental, tapi ia berhak mendapatkan pendidikan untuk menanggulangi bukannya malah diabaikan. Tapi sayang, gue lupa nama kakek itu siapa. -_- bentar ya.. gugling dulu.. :D
Adalagi kisah, kemarin habis liat suatu acara di stasiun televisi swasta, dikisahkan anak ibu-ibu penjual gula aren itu putus sekolah dan mengalami gangguan jiwa karena frustasi putus sekolah. Putus sekolahnya sang anak bermula dari nunggaknya bayaran SPP selama 3 bulan, sang ibu mencoba membesarkan hati sang anak bahwa beliau akan segera membayar tunggakan tersebut. Tetapi, apa yang terjadi keesokan harinya adalah sang anak tidak diperkenankan masuk sekolah oleh gurunya lantaran tunggakan SPP tersebut belum dibayar. Padahal sang ibu sudah beri’tikad baik dan berusaha untuk segera membayar. Akhirnya sang anak pulang dan merasa down, ia bilang kepada ibunya kalau sudah tidak mau sekolah lagi. Sejak saat itu, entah karena diolok-olok teman atau apa, sang anak mengalami gangguan kejiwaan. Ironis memang, disaat semangat seseorang untuk belajar harus terhenti begitu saja karena hal—yang menurut gue—masih bisa diselesaikan dengan berbagai kebijakan. Hal itu bikin gue jadi mellow—beruntung ya gue masih bisa disekolahin oang tua sampe saat ini—ya, bersyukur.
Yang bikin gue miris, kenapa sang guru gak berusaha untuk bernegosiasi dengan pihak orang tua anak tadi mengenai tunggakan SPP. Kenapa langsung tidak mempebolehkan anak itu untuk masuk sekolah tanpa pengertian yang lebih halus atau yaa.. bisa disiasatilah.. kan si anak masih kecil. Masih SD. Kalo menurut gue, harusnya pihak sekolah itu, buat semua sekolah ajalah, kalo mau bicarain finansial tuh langsung sama orang tua aja deh. Biar sang anak tuh fokus sama pelajaran sama prestasi dia. Pendapat yang kaya gitu sebenernya gue denger dari guru SMA gue yang gue favorit-in dan gue setuju. Beliau berpendapat kalo anak itu gak semestinya tau tentang masalah finansial yang dihadapi para orang tua. Tapi dipahamkan tentang bagaimana memilih dan memilah yang paling penting, cukup penting sampai ke hal yang tidak penting. Dan kalopun orang tua belum bisa menuhin apa yang anak minta, kasih pengertian ke anak dengan bahasa anak kalo belum bisa dan beri pendidikan tentang keinginan dan kebutuhan. Nahlo.. gue jadi kemana-mana nih ngomongnya..
Kembali ke laptop! *ala tukul arwana*
Dari kedua contoh itu, kita bisa ambil pendapat. Kalo seperti yang gue tulis diawal tulisan ini: “Setiap anak itu, apapun dan bagaimanapun dia.. berhak dapatkan pendidikan yang terbaik.”
Dan layak, kata temen gue waktu gue post statement itu di akun twitter. Coba deh dipikir lagi, bener kan? Gimanapun ia, anak itu ciptaan Tuhan juga.. sama. Jadi, menurut gue gada alasan buat ngebedain pendidikan anak, baik yang kita kata normal maupun yang tidak. Karna dengan pendidikan-lah seorang anak bis dibentuk kepribadian dan jatidirinya. Menjadi pribadi yang pantas untuk menghormati dan dihormati. Hanya dengan pendidikan yang “not only teach but also educate.”

0 komentar:

Posting Komentar