“Setiap anak itu, apapun
dan bagaimanapun dia.. berhak dapatkan pendidikan yang terbaik.”
Seperti yang kita tau, di dunia ini gak hanya anak-anak yang
‘normal’ aja yang bisa mengenyam enaknya pendidikan. Normal dalam artian
fisiknya, ekonominya, keadaannnya dan semua yang ‘normal’. Padahal, kalo kita
keluar dari zona nyaman kita, diluar sana banyaaakk banget anak-anak yang—lemme
say—gak normal. Gak normal disini dalam hal fisiknya, IQ-nya, ekonominya,
keadaannya dan banyak juga faktor lain yang menyebabkan ia menjadi anak yang
gak normal. Sehingga entah karena mindset masyarakat kita ato apa, yang
memunculkan anggapan dan fakta kalo mereka kita tinggalkan, lupakan, dan sering
masyarakat kita tuh kurang dan hampir tidak sadar kalo mereka sebenernya juga
butuh dan punya hak untuk mendapatkan pendidikan.
Pernah gue baca berita di sebuah surat kabar, disitu
diceritakan ada seorang kakek-kakek di China yang mendirikan sekolah untuk
anak-anak yang berkebutuhan khusus. Kebutuhan khusus disini dilihat dari segi
fisik, IQ dan mental mereka. Bermula dari pengalaman cucunya yang tidak
diterima di sekolah manapun di daerahnya, di sekolah berkebutuhan khusus yang
ada sekalipun. Ia pun berusaha mendidik cucunya sendiri, ia belajar dan sekolah
lagi untuk mendalami ilmu tentang pendidikan anak berkebutuhan hingga ia bisa
mendirikan sekolah sendiri meski diawal pendirian, sekolah tersebut belum
memiliki tempat yang permanen dan masalah pasti yaitu finansial. Sang kakek
berfikir, meskipun cucunya mengalami keterlambatan mental, tapi ia berhak
mendapatkan pendidikan untuk menanggulangi bukannya malah diabaikan. Tapi
sayang, gue lupa nama kakek itu siapa. -_- bentar ya.. gugling dulu.. :D
Adalagi kisah, kemarin habis liat suatu acara di stasiun
televisi swasta, dikisahkan anak ibu-ibu penjual gula aren itu putus sekolah
dan mengalami gangguan jiwa karena frustasi putus sekolah. Putus sekolahnya
sang anak bermula dari nunggaknya bayaran SPP selama 3 bulan, sang ibu mencoba
membesarkan hati sang anak bahwa beliau akan segera membayar tunggakan
tersebut. Tetapi, apa yang terjadi keesokan harinya adalah sang anak tidak
diperkenankan masuk sekolah oleh gurunya lantaran tunggakan SPP tersebut belum
dibayar. Padahal sang ibu sudah beri’tikad baik dan berusaha untuk segera
membayar. Akhirnya sang anak pulang dan merasa down, ia bilang kepada ibunya kalau sudah tidak mau sekolah lagi. Sejak
saat itu, entah karena diolok-olok teman atau apa, sang anak mengalami gangguan
kejiwaan. Ironis memang, disaat semangat seseorang untuk belajar harus terhenti
begitu saja karena hal—yang menurut gue—masih bisa diselesaikan dengan berbagai
kebijakan. Hal itu bikin gue jadi mellow—beruntung ya gue masih bisa
disekolahin oang tua sampe saat ini—ya, bersyukur.
Yang bikin gue miris, kenapa sang guru gak berusaha untuk
bernegosiasi dengan pihak orang tua anak tadi mengenai tunggakan SPP. Kenapa
langsung tidak mempebolehkan anak itu untuk masuk sekolah tanpa pengertian yang
lebih halus atau yaa.. bisa disiasatilah.. kan si anak masih kecil. Masih SD. Kalo
menurut gue, harusnya pihak sekolah itu, buat semua sekolah ajalah, kalo mau
bicarain finansial tuh langsung sama orang tua aja deh. Biar sang anak tuh fokus
sama pelajaran sama prestasi dia. Pendapat yang kaya gitu sebenernya gue denger
dari guru SMA gue yang gue favorit-in dan gue setuju. Beliau berpendapat kalo
anak itu gak semestinya tau tentang masalah finansial yang dihadapi para orang
tua. Tapi dipahamkan tentang bagaimana memilih dan memilah yang paling penting,
cukup penting sampai ke hal yang tidak penting. Dan kalopun orang tua belum
bisa menuhin apa yang anak minta, kasih pengertian ke anak dengan bahasa anak
kalo belum bisa dan beri pendidikan tentang keinginan dan kebutuhan. Nahlo..
gue jadi kemana-mana nih ngomongnya..
Kembali ke laptop! *ala tukul arwana*
Dari kedua contoh itu, kita bisa ambil pendapat. Kalo seperti
yang gue tulis diawal tulisan ini: “Setiap
anak itu, apapun dan bagaimanapun dia.. berhak dapatkan pendidikan yang
terbaik.”
Dan layak, kata temen gue waktu gue post statement itu di
akun twitter. Coba deh dipikir lagi, bener kan? Gimanapun ia, anak itu ciptaan
Tuhan juga.. sama. Jadi, menurut gue gada alasan buat ngebedain pendidikan anak,
baik yang kita kata normal maupun yang tidak. Karna dengan pendidikan-lah
seorang anak bis dibentuk kepribadian dan jatidirinya. Menjadi pribadi yang
pantas untuk menghormati dan dihormati. Hanya dengan pendidikan yang “not only teach but also educate.”
0 komentar:
Posting Komentar