CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 04 Februari 2013

Di Suatu Senja



Pagi-pagi sekali aku diajak majikanku keluar dari tempat kediaman. Seperti aktifitas biasa, bekerja. Mengais rezeki dari pagi hingga petang. Kicauan burung masih terdengar sampai saat ini. Meski desa kami sudah mulai bergaya kota, tapi nuansa bening masih terasa menyelimuti. Majikanku adalah seorang laki-laki tua yang masih enerjik. Sayangnya ia hidup sebatang kara, tidak punya keturunan. Istrinya telah mendahului menghadap Sang Pencipta lima tahun yang lalu. Sungguh kasihan dan sangat kesepian dia. Hingga suatu saat yang lalu dia bertemu denganku di sebuah pasar, dan ia terlibat sebuah perbincangan dengan seorang laki-laki setengah baya. Majikanku yang pertama. Entah bagaimana, tiba-tiba dia mengajakku pulang ke rumahnya. Katanya, mulai saat itu aku akan bekerja bersamanya.
Sudah kujalani hidup dengannya lama, kurang lebih sepuluh tahun berlalu. Selama itu pun aku merasa cocok bekerjasama dengan dia. Ia jarang menuntut yang lebih dariku. Dia tahu dan paham akan keadaanku maupun kemampuanku dalam bekerja. Dia sering bercerita sedangkan aku cenderung diam dan mendengarkan apa yang ia ucap. Kegembiraan, keluh kesah, atau pun kekesalan. Aku dan dia sudah seperti saudara.
Seperti pagi ini, ia bercerita tentang kemajuan zaman sekarang. Semua serba instan dan tidak perlu susah-susah. Mulai dari saat dulu berkabar sesama dengan sepucuk surat yang lama sampainya, sekarang sudah ada alat kecil nan canggih yang bernama ponsel. Atau ketika dulu orang harus pergi ke sungai untuk mencuci baju, sekarang tanpa mengeluarkan banyak tenaga pun baju sudah bisa bersih dalam sekejap dengan mesin cuci. Ia juga berkeluh bagaimana kalau seandainya aku dan dia sudah tidak bekerja lagi. Mengingat usia yang semakin merenta dan senja.
Arloji Pak majikan menunjukkan pukul enam pagi. Kulihat Noni, seorang murid SMA duduk, membuka buku pelajarannya. Rambut panjangnya terikat ke belakang rapi. Noni terlihat pintar dengan kacamata yang bertahta di matanya. Anak yang manis dan rajin. Kemudian datang segerombolan  ibu-ibu setengah baya, mereka terlihat menyapa Pak majikan. Bercakap sebentar barangkali. Mereka baru selesai dari belanja. Kulihat ada beberapa kantong plastik di genggaman tangan mereka. Disusul seoarang bapak dan anak kecilnya, mungkin mereka mau pergi ke kota.
Aku dan Pak majikan mulai bekerja. Noni sudah memasuki area sekolahnya. Dia memasuki sekolah dengan riang, menyapa satpam sekolah dengan ramah. Selang berapa lama ibu yang pulang belanja tadi masuk ke pekarangan rumahnya. Dan seorang bapak dan anak kecil tadi sudah masuk ke sebuah bus menuju kota.
Sedangkan aku dan Pak majikan masih terlihat santai, aku pun belum terlalu lelah. Kami berjalan menyusuri jalan desa yang tidak sehalus jalan raya di kota. Karena memang jalan ini belum terpoles aspal secara sempurna. Tapi biar bagaimana pun kami tetap menikmati perjalanan ini. Sesekali majikanku menyenandungkan sebuah tembang kenangan, mengusir kebosanan. Meski suaranya berat dan jauh dari kata merdu, paling tidak dengan dia bernyanyi maka akan menambah keakraban kami.
Ternyata Pak majikan mengajakku ke sebuah lokasi. Tempat yang penuh dengan memori tentang dia dan istrinya. Ia menziarahi makam sang istri tercinta yang hanya berupa gundukan tanah. Tanpa ada bangunan pelindung dikala panas maupun hujan. Tanpa batu nisan yang terbuat dari marmer ataupun keramik. Hanya sebuah papan kayu sebagai penanda. Ia menatap lekat makam istrinya itu, kemudian tatap matanya menerawang jauh ke langit luas. Entah apa yang dipikirkannya. Hanya dia dan Dia yang tahu. Pak majikan mengajakku mampir ke sebuah sungai, karena tak jauh dari makam sang istri ada sebuah sungai yang masih jernih serta akses jalannya yang mudah. Gemericik riak airnya menggoda. Ia mengajakku bermain air, Pak majikan terlihat bahagia tanpa beban. Aku pun begitu. Aku senang jika Pak majikan bahagia. Kami bermain sampai basah kuyup. Pak majikan mengguyurku dengan banyak air, basah, tapi aku senang. Setelah dirasa cukup, kami akhirnya harus pulang. Matahari dengan garang menyengat.  

[to be continued...]









0 komentar:

Posting Komentar

Senin, 04 Februari 2013

Di Suatu Senja

Posted by : Ndug Ayu di 23.41



Pagi-pagi sekali aku diajak majikanku keluar dari tempat kediaman. Seperti aktifitas biasa, bekerja. Mengais rezeki dari pagi hingga petang. Kicauan burung masih terdengar sampai saat ini. Meski desa kami sudah mulai bergaya kota, tapi nuansa bening masih terasa menyelimuti. Majikanku adalah seorang laki-laki tua yang masih enerjik. Sayangnya ia hidup sebatang kara, tidak punya keturunan. Istrinya telah mendahului menghadap Sang Pencipta lima tahun yang lalu. Sungguh kasihan dan sangat kesepian dia. Hingga suatu saat yang lalu dia bertemu denganku di sebuah pasar, dan ia terlibat sebuah perbincangan dengan seorang laki-laki setengah baya. Majikanku yang pertama. Entah bagaimana, tiba-tiba dia mengajakku pulang ke rumahnya. Katanya, mulai saat itu aku akan bekerja bersamanya.
Sudah kujalani hidup dengannya lama, kurang lebih sepuluh tahun berlalu. Selama itu pun aku merasa cocok bekerjasama dengan dia. Ia jarang menuntut yang lebih dariku. Dia tahu dan paham akan keadaanku maupun kemampuanku dalam bekerja. Dia sering bercerita sedangkan aku cenderung diam dan mendengarkan apa yang ia ucap. Kegembiraan, keluh kesah, atau pun kekesalan. Aku dan dia sudah seperti saudara.
Seperti pagi ini, ia bercerita tentang kemajuan zaman sekarang. Semua serba instan dan tidak perlu susah-susah. Mulai dari saat dulu berkabar sesama dengan sepucuk surat yang lama sampainya, sekarang sudah ada alat kecil nan canggih yang bernama ponsel. Atau ketika dulu orang harus pergi ke sungai untuk mencuci baju, sekarang tanpa mengeluarkan banyak tenaga pun baju sudah bisa bersih dalam sekejap dengan mesin cuci. Ia juga berkeluh bagaimana kalau seandainya aku dan dia sudah tidak bekerja lagi. Mengingat usia yang semakin merenta dan senja.
Arloji Pak majikan menunjukkan pukul enam pagi. Kulihat Noni, seorang murid SMA duduk, membuka buku pelajarannya. Rambut panjangnya terikat ke belakang rapi. Noni terlihat pintar dengan kacamata yang bertahta di matanya. Anak yang manis dan rajin. Kemudian datang segerombolan  ibu-ibu setengah baya, mereka terlihat menyapa Pak majikan. Bercakap sebentar barangkali. Mereka baru selesai dari belanja. Kulihat ada beberapa kantong plastik di genggaman tangan mereka. Disusul seoarang bapak dan anak kecilnya, mungkin mereka mau pergi ke kota.
Aku dan Pak majikan mulai bekerja. Noni sudah memasuki area sekolahnya. Dia memasuki sekolah dengan riang, menyapa satpam sekolah dengan ramah. Selang berapa lama ibu yang pulang belanja tadi masuk ke pekarangan rumahnya. Dan seorang bapak dan anak kecil tadi sudah masuk ke sebuah bus menuju kota.
Sedangkan aku dan Pak majikan masih terlihat santai, aku pun belum terlalu lelah. Kami berjalan menyusuri jalan desa yang tidak sehalus jalan raya di kota. Karena memang jalan ini belum terpoles aspal secara sempurna. Tapi biar bagaimana pun kami tetap menikmati perjalanan ini. Sesekali majikanku menyenandungkan sebuah tembang kenangan, mengusir kebosanan. Meski suaranya berat dan jauh dari kata merdu, paling tidak dengan dia bernyanyi maka akan menambah keakraban kami.
Ternyata Pak majikan mengajakku ke sebuah lokasi. Tempat yang penuh dengan memori tentang dia dan istrinya. Ia menziarahi makam sang istri tercinta yang hanya berupa gundukan tanah. Tanpa ada bangunan pelindung dikala panas maupun hujan. Tanpa batu nisan yang terbuat dari marmer ataupun keramik. Hanya sebuah papan kayu sebagai penanda. Ia menatap lekat makam istrinya itu, kemudian tatap matanya menerawang jauh ke langit luas. Entah apa yang dipikirkannya. Hanya dia dan Dia yang tahu. Pak majikan mengajakku mampir ke sebuah sungai, karena tak jauh dari makam sang istri ada sebuah sungai yang masih jernih serta akses jalannya yang mudah. Gemericik riak airnya menggoda. Ia mengajakku bermain air, Pak majikan terlihat bahagia tanpa beban. Aku pun begitu. Aku senang jika Pak majikan bahagia. Kami bermain sampai basah kuyup. Pak majikan mengguyurku dengan banyak air, basah, tapi aku senang. Setelah dirasa cukup, kami akhirnya harus pulang. Matahari dengan garang menyengat.  

[to be continued...]









0 komentar:

Posting Komentar