Pagi-pagi
sekali aku diajak majikanku keluar dari tempat kediaman. Seperti aktifitas
biasa, bekerja. Mengais rezeki dari pagi hingga petang. Kicauan burung masih
terdengar sampai saat ini. Meski desa kami sudah mulai bergaya kota, tapi nuansa
bening masih terasa menyelimuti. Majikanku adalah seorang laki-laki tua yang
masih enerjik. Sayangnya ia hidup sebatang kara, tidak punya keturunan.
Istrinya telah mendahului menghadap Sang Pencipta lima tahun yang lalu. Sungguh
kasihan dan sangat kesepian dia. Hingga suatu saat yang lalu dia bertemu
denganku di sebuah pasar, dan ia terlibat sebuah perbincangan dengan seorang
laki-laki setengah baya. Majikanku yang pertama. Entah bagaimana, tiba-tiba dia
mengajakku pulang ke rumahnya. Katanya, mulai saat itu aku akan bekerja
bersamanya.
Sudah
kujalani hidup dengannya lama, kurang lebih sepuluh tahun berlalu. Selama itu
pun aku merasa cocok bekerjasama dengan dia. Ia jarang menuntut yang lebih
dariku. Dia tahu dan paham akan keadaanku maupun kemampuanku dalam bekerja. Dia
sering bercerita sedangkan aku cenderung diam dan mendengarkan apa yang ia
ucap. Kegembiraan, keluh kesah, atau pun kekesalan. Aku dan dia sudah seperti
saudara.
Seperti
pagi ini, ia bercerita tentang kemajuan zaman sekarang. Semua serba instan dan
tidak perlu susah-susah. Mulai dari saat dulu berkabar sesama dengan sepucuk
surat yang lama sampainya, sekarang sudah ada alat kecil nan canggih yang
bernama ponsel. Atau ketika dulu orang harus pergi ke sungai untuk mencuci
baju, sekarang tanpa mengeluarkan banyak tenaga pun baju sudah bisa bersih
dalam sekejap dengan mesin cuci. Ia juga berkeluh bagaimana kalau seandainya
aku dan dia sudah tidak bekerja lagi. Mengingat usia yang semakin merenta dan
senja.
Arloji
Pak majikan menunjukkan pukul enam pagi. Kulihat Noni, seorang murid SMA duduk,
membuka buku pelajarannya. Rambut panjangnya terikat ke belakang rapi. Noni
terlihat pintar dengan kacamata yang bertahta di matanya. Anak yang manis dan
rajin. Kemudian datang segerombolan ibu-ibu
setengah baya, mereka terlihat menyapa Pak majikan. Bercakap sebentar
barangkali. Mereka baru selesai dari belanja. Kulihat ada beberapa kantong
plastik di genggaman tangan mereka. Disusul seoarang bapak dan anak kecilnya,
mungkin mereka mau pergi ke kota.
Aku
dan Pak majikan mulai bekerja. Noni sudah memasuki area sekolahnya. Dia
memasuki sekolah dengan riang, menyapa satpam sekolah dengan ramah. Selang
berapa lama ibu yang pulang belanja tadi masuk ke pekarangan rumahnya. Dan
seorang bapak dan anak kecil tadi sudah masuk ke sebuah bus menuju kota.
Sedangkan
aku dan Pak majikan masih terlihat santai, aku pun belum terlalu lelah. Kami
berjalan menyusuri jalan desa yang tidak sehalus jalan raya di kota. Karena
memang jalan ini belum terpoles aspal secara sempurna. Tapi biar bagaimana pun
kami tetap menikmati perjalanan ini. Sesekali majikanku menyenandungkan sebuah
tembang kenangan, mengusir kebosanan. Meski suaranya berat dan jauh dari kata
merdu, paling tidak dengan dia bernyanyi maka akan menambah keakraban kami.
Ternyata
Pak majikan mengajakku ke sebuah lokasi. Tempat yang penuh dengan memori tentang
dia dan istrinya. Ia menziarahi makam sang istri tercinta yang hanya berupa
gundukan tanah. Tanpa ada bangunan pelindung dikala panas maupun hujan. Tanpa
batu nisan yang terbuat dari marmer ataupun keramik. Hanya sebuah papan kayu
sebagai penanda. Ia menatap lekat makam istrinya itu, kemudian tatap matanya
menerawang jauh ke langit luas. Entah apa yang dipikirkannya. Hanya dia dan Dia
yang tahu. Pak majikan mengajakku mampir ke sebuah sungai, karena tak jauh dari
makam sang istri ada sebuah sungai yang masih jernih serta akses jalannya yang
mudah. Gemericik riak airnya menggoda. Ia mengajakku bermain air, Pak majikan
terlihat bahagia tanpa beban. Aku pun begitu. Aku senang jika Pak majikan
bahagia. Kami bermain sampai basah kuyup. Pak majikan mengguyurku dengan banyak
air, basah, tapi aku senang. Setelah dirasa cukup, kami akhirnya harus pulang.
Matahari dengan garang menyengat.
[to be continued...]
0 komentar:
Posting Komentar