CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 04 Februari 2013

Di Suatu Senja



Pagi-pagi sekali aku diajak majikanku keluar dari tempat kediaman. Seperti aktifitas biasa, bekerja. Mengais rezeki dari pagi hingga petang. Kicauan burung masih terdengar sampai saat ini. Meski desa kami sudah mulai bergaya kota, tapi nuansa bening masih terasa menyelimuti. Majikanku adalah seorang laki-laki tua yang masih enerjik. Sayangnya ia hidup sebatang kara, tidak punya keturunan. Istrinya telah mendahului menghadap Sang Pencipta lima tahun yang lalu. Sungguh kasihan dan sangat kesepian dia. Hingga suatu saat yang lalu dia bertemu denganku di sebuah pasar, dan ia terlibat sebuah perbincangan dengan seorang laki-laki setengah baya. Majikanku yang pertama. Entah bagaimana, tiba-tiba dia mengajakku pulang ke rumahnya. Katanya, mulai saat itu aku akan bekerja bersamanya.
Sudah kujalani hidup dengannya lama, kurang lebih sepuluh tahun berlalu. Selama itu pun aku merasa cocok bekerjasama dengan dia. Ia jarang menuntut yang lebih dariku. Dia tahu dan paham akan keadaanku maupun kemampuanku dalam bekerja. Dia sering bercerita sedangkan aku cenderung diam dan mendengarkan apa yang ia ucap. Kegembiraan, keluh kesah, atau pun kekesalan. Aku dan dia sudah seperti saudara.
Seperti pagi ini, ia bercerita tentang kemajuan zaman sekarang. Semua serba instan dan tidak perlu susah-susah. Mulai dari saat dulu berkabar sesama dengan sepucuk surat yang lama sampainya, sekarang sudah ada alat kecil nan canggih yang bernama ponsel. Atau ketika dulu orang harus pergi ke sungai untuk mencuci baju, sekarang tanpa mengeluarkan banyak tenaga pun baju sudah bisa bersih dalam sekejap dengan mesin cuci. Ia juga berkeluh bagaimana kalau seandainya aku dan dia sudah tidak bekerja lagi. Mengingat usia yang semakin merenta dan senja.
Arloji Pak majikan menunjukkan pukul enam pagi. Kulihat Noni, seorang murid SMA duduk, membuka buku pelajarannya. Rambut panjangnya terikat ke belakang rapi. Noni terlihat pintar dengan kacamata yang bertahta di matanya. Anak yang manis dan rajin. Kemudian datang segerombolan  ibu-ibu setengah baya, mereka terlihat menyapa Pak majikan. Bercakap sebentar barangkali. Mereka baru selesai dari belanja. Kulihat ada beberapa kantong plastik di genggaman tangan mereka. Disusul seoarang bapak dan anak kecilnya, mungkin mereka mau pergi ke kota.
Aku dan Pak majikan mulai bekerja. Noni sudah memasuki area sekolahnya. Dia memasuki sekolah dengan riang, menyapa satpam sekolah dengan ramah. Selang berapa lama ibu yang pulang belanja tadi masuk ke pekarangan rumahnya. Dan seorang bapak dan anak kecil tadi sudah masuk ke sebuah bus menuju kota.
Sedangkan aku dan Pak majikan masih terlihat santai, aku pun belum terlalu lelah. Kami berjalan menyusuri jalan desa yang tidak sehalus jalan raya di kota. Karena memang jalan ini belum terpoles aspal secara sempurna. Tapi biar bagaimana pun kami tetap menikmati perjalanan ini. Sesekali majikanku menyenandungkan sebuah tembang kenangan, mengusir kebosanan. Meski suaranya berat dan jauh dari kata merdu, paling tidak dengan dia bernyanyi maka akan menambah keakraban kami.
Ternyata Pak majikan mengajakku ke sebuah lokasi. Tempat yang penuh dengan memori tentang dia dan istrinya. Ia menziarahi makam sang istri tercinta yang hanya berupa gundukan tanah. Tanpa ada bangunan pelindung dikala panas maupun hujan. Tanpa batu nisan yang terbuat dari marmer ataupun keramik. Hanya sebuah papan kayu sebagai penanda. Ia menatap lekat makam istrinya itu, kemudian tatap matanya menerawang jauh ke langit luas. Entah apa yang dipikirkannya. Hanya dia dan Dia yang tahu. Pak majikan mengajakku mampir ke sebuah sungai, karena tak jauh dari makam sang istri ada sebuah sungai yang masih jernih serta akses jalannya yang mudah. Gemericik riak airnya menggoda. Ia mengajakku bermain air, Pak majikan terlihat bahagia tanpa beban. Aku pun begitu. Aku senang jika Pak majikan bahagia. Kami bermain sampai basah kuyup. Pak majikan mengguyurku dengan banyak air, basah, tapi aku senang. Setelah dirasa cukup, kami akhirnya harus pulang. Matahari dengan garang menyengat.  

[to be continued...]









Poetry~


Malam berselimut kelam,
Sendu berkawan mendung,
Tiada nampak purnamanya bulan,
Sama seperti ketiadaanmu disini..

Sepoi bayu tak lagi semilir,
Menusuk..  dingin..
Sapuan mata tak lepas dari bintang,
Mencari bintang kita yang tak berkedip,

Helaan nafas mulai memburu,
Sayu.. layu..
Sama seperti hati ini yang..
Merindu.. bayangmu..

Tanpa rasa kau terus,
Berjalan lurus, tegap..
Tak ingatkan aku sebagai kenangan,
Masa lalu.. sendu..

Tiada kata yang melukis,
Lukaku akan dirimu dan rindu..
Yang lama berlalu namun,
Tak jua bisa ku menyepi, sendiri..
                                                                                                        17 agustus 12 ----> rindu untukmu

NGUDA RASA…


             Terkadang, ada untungnya juga kalo gw lagi maen ke kios bapak. Kios yang berjejer-jejer yang sering disebut ‘kios renteng’ ini berdekatan dengan pasar. Alhamdulillah kios bapak selalu ramai oleh pelanggan yang ingin memangkas rambutnya. Mulai dari adek bayi sampai ada yang dari bapak-bapak tentara gitu. Emang rezeki itu Allah yang ngatur yak? :)
            Kios bapak tuh sebenernya gede, mau dibikin rumah pun cukup, tapi berhubung belum sempet ditata ya keliatan sempit. Satu kios dibagi dua dengan ibu, sebelah untuk bapak memangkas dan sebelahnya lagi untuk ibu membordir. Alhamdulillah juga bordiran ibu ramai, meski pelanggannya gak banyak tapi pelanggan ibu tuh orang ‘piayi’ semua. Ada juga yang dari rias pengantin, jadi bikin bordirnya untuk baju-baju pengantin gitu.
            Udah jadi kebiasaan bapak tiap kali memangkas langganan yang udah akrab maupun baru aja datang ke tempat bapak, beliau pasti ngajakin ngobrol. Dan obrolannya pun macem-macem. Mulai dari harga pangan, harga ayam, harga tanah, politik dan lain-lain. Yang menarik buat gw disini, pendapat mereka (langganan bapak-red) tuh macem-macem juga semacem-macem obrolannya. :D Baru aja gw denger obrolan bapak dengan seorang guru, dan tentunya tentang pendidikan. Asyik juga dengernya, gw malah menangkap ide-ide problem solving gitu dari beliau-beliau. Masukan-masukan ato komentar-komentar yang ‘pas kena hati’.  Harusnya para ‘penggedhe’ tuh denger suara-suara ini.
            Bener sih mereka hanya rakyat biasa, awam tentang hal-hal kek gitu: politik, birokrasi dan segala macem, tapi toh ucapan mereka ada benernya juga. Mereka tak sepenuhnya buta hingga bisa dibodohi. Mereka bisa belajar walau hanya dengan mengamati, bahkan terkadang dengan mengamati itu kita lebih bisa mendapatkan sesuatu. Lagipula bukankah di Negara ini memberlakukan kebebasan berpendapat? Bukankah demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat? Bukankah wakil rakyat itu untuk mewakili rakyat? Sayangnya meski disini bebas berpendapat tapi pendapat itu jarang bahkan hampir tak didengar. Bukannya tak sengaja gak dengar, seringkali juga disengaja untuk gak mendengar. Percuma dong..
            Harusnya, harusnya sih.. siapapun yang ngomong, siapapun yang berpendapat, siapapun yang mengingatkan tuh didengerin selama yang dia ucapkan itu kebeneran, kebaikan. Seperti hadits Rasul, jangan lihat siapa yang berbicara tapi lihatlah apa yang dibicarakan. Seorang budak pun harus didengar jika iya mengatakan kebenaran dan kebaikan kok. :)

Buku vs Film


“Generasi kita gak mempan dikasih tulisan, generasi kita tuh generasi whose gets philosophy by the movie.”

Quote itu gw dapet dari film ci(T)a. Bener juga kan, gw aja ngutip tuh quote dari film juga. Tapi kalo dipikirin, jaman sekarang minim banget minat baca masyarakat di Negeri ini. Kebanyakan yang hampir semua dari mereka lebih suka nongkrong di depan layar kaca untuk menyaksikan tayangan televisi. Entah sinetron yang rebutan anak, cinta dan harta , film horror yang bermodus seks, drama yang ada naga terbangnya ato bahkan iklan sekalipun. Film-film di sini juga mulai gencar menyajikan tayangan yang kalo bisa dia mencapai rating tinggi karna animo masyarakat. Sayangnya, film-film yang disajikan itu sedikit-banyak tidak bermutu dan bernilai edukasi tinggi. Ada sih edukasi tapi sebagai preman misalnya, ato kekerasan bahkan sampai pornografi dan aksi. Bukannya kualitas film di Negara ini buruk, hanya KURANG BAIK saja. Dan itu harusnya menjadi poin banget bagi yang berkutat di industri perfilman. Mulailah memproduksi film yang bernilai tinggi, tidak hanya nilai jual namun juga bernilai moral tinggi. Bukannya gw gak pernah suka film dari Negara ini, gw suka kok sama Laskar Pelangi, Merah Putih, Sang Pencerah, Nagabonar, dll. Bagus-bagus kok, dan gw bisa ambil beberapa filosofi dari situ.
Jaman sekarang jarang bisa menemui orang yang duduk di suatu tempat trus lagi bawa buku dan dibaca. Jarang banget. Kalopun ada yang duduk di suatu tempat bawaan mereka sekarang bukan buku (secara udah jaman canggih gitu) tapi HP, tablet, i-Phone, iPad, laptop, dll. Kalo lagi nungguin apa gitu, sibuk sama gadgetnya masing-masing. Sampe-sampe ada orang yang mau nyapa ato ngajakin ngobrolpun gak jadi. Gw sendiri juga kadang khilaf keranjingan nonton film Korea di laptop kalo ada waktu. Ck ck ck. Padahal buku itu bagus kok, kalo gw boleh bilang, baguuuuss banget. Membaca dengan menyentuh, mebalik halaman per-halaman itu lebih berkesan dan memiliki memoar yang kuat di ingatan kita. Buku, satu-satunya file yang gak bakal ke-delete­ (kecuali kalo kena air ato kebakar)--> tetep :D
Buku itu membuat imajinasi kita kreatif bener gak sih? Waktu gw baca buku Ayat-Ayat Cinta gw ngebayanginnya bagus, so sweet gitu. Tapi ketika gw lihat visualisasinya, jujur gw kecewa karna memang ada yang gak sesuai sama asli bukunya. Terbukti kan kalo buku itu WOW banget. Jadi sebuah catatan tersendiri buat gw waktu gw punya kenalan kakak tingkat yang kebetulan juga hobi baca.
“Aku lebih suka baca buku waktu nunggu ketimbang sms-an dan online.”
Gitu kata dia waktu gw buka-buka tas dan nemu bukunya Mira W. di dalem tas. Mulai saat itu juga gw punya niat bakal bawa buku at least satu judul kalo gw mau bepergian. Walopun tuh buku udah berkali-kali dibaca, tapi buku itu akan memunculkan makna tersendiri saat kita abaca kembali (diwaktu yang berbeda tentuya). Walhasil, sampe sekarang gw kalo kemana-mana bawa buku dan gak memungkiri juga kalo gw lagi pengen nonton film, gw juga nonton. Jadi, bukan hanya cinta tulisan aja tapi juga bisa menikmati film. ^^

education talking time~


“Setiap anak itu, apapun dan bagaimanapun dia.. berhak dapatkan pendidikan yang terbaik.”

Seperti yang kita tau, di dunia ini gak hanya anak-anak yang ‘normal’ aja yang bisa mengenyam enaknya pendidikan. Normal dalam artian fisiknya, ekonominya, keadaannnya dan semua yang ‘normal’. Padahal, kalo kita keluar dari zona nyaman kita, diluar sana banyaaakk banget anak-anak yang—lemme say—gak normal. Gak normal disini dalam hal fisiknya, IQ-nya, ekonominya, keadaannya dan banyak juga faktor lain yang menyebabkan ia menjadi anak yang gak normal. Sehingga entah karena mindset masyarakat kita ato apa, yang memunculkan anggapan dan fakta kalo mereka kita tinggalkan, lupakan, dan sering masyarakat kita tuh kurang dan hampir tidak sadar kalo mereka sebenernya juga butuh dan punya hak untuk mendapatkan pendidikan.
Pernah gue baca berita di sebuah surat kabar, disitu diceritakan ada seorang kakek-kakek di China yang mendirikan sekolah untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus. Kebutuhan khusus disini dilihat dari segi fisik, IQ dan mental mereka. Bermula dari pengalaman cucunya yang tidak diterima di sekolah manapun di daerahnya, di sekolah berkebutuhan khusus yang ada sekalipun. Ia pun berusaha mendidik cucunya sendiri, ia belajar dan sekolah lagi untuk mendalami ilmu tentang pendidikan anak berkebutuhan hingga ia bisa mendirikan sekolah sendiri meski diawal pendirian, sekolah tersebut belum memiliki tempat yang permanen dan masalah pasti yaitu finansial. Sang kakek berfikir, meskipun cucunya mengalami keterlambatan mental, tapi ia berhak mendapatkan pendidikan untuk menanggulangi bukannya malah diabaikan. Tapi sayang, gue lupa nama kakek itu siapa. -_- bentar ya.. gugling dulu.. :D
Adalagi kisah, kemarin habis liat suatu acara di stasiun televisi swasta, dikisahkan anak ibu-ibu penjual gula aren itu putus sekolah dan mengalami gangguan jiwa karena frustasi putus sekolah. Putus sekolahnya sang anak bermula dari nunggaknya bayaran SPP selama 3 bulan, sang ibu mencoba membesarkan hati sang anak bahwa beliau akan segera membayar tunggakan tersebut. Tetapi, apa yang terjadi keesokan harinya adalah sang anak tidak diperkenankan masuk sekolah oleh gurunya lantaran tunggakan SPP tersebut belum dibayar. Padahal sang ibu sudah beri’tikad baik dan berusaha untuk segera membayar. Akhirnya sang anak pulang dan merasa down, ia bilang kepada ibunya kalau sudah tidak mau sekolah lagi. Sejak saat itu, entah karena diolok-olok teman atau apa, sang anak mengalami gangguan kejiwaan. Ironis memang, disaat semangat seseorang untuk belajar harus terhenti begitu saja karena hal—yang menurut gue—masih bisa diselesaikan dengan berbagai kebijakan. Hal itu bikin gue jadi mellow—beruntung ya gue masih bisa disekolahin oang tua sampe saat ini—ya, bersyukur.
Yang bikin gue miris, kenapa sang guru gak berusaha untuk bernegosiasi dengan pihak orang tua anak tadi mengenai tunggakan SPP. Kenapa langsung tidak mempebolehkan anak itu untuk masuk sekolah tanpa pengertian yang lebih halus atau yaa.. bisa disiasatilah.. kan si anak masih kecil. Masih SD. Kalo menurut gue, harusnya pihak sekolah itu, buat semua sekolah ajalah, kalo mau bicarain finansial tuh langsung sama orang tua aja deh. Biar sang anak tuh fokus sama pelajaran sama prestasi dia. Pendapat yang kaya gitu sebenernya gue denger dari guru SMA gue yang gue favorit-in dan gue setuju. Beliau berpendapat kalo anak itu gak semestinya tau tentang masalah finansial yang dihadapi para orang tua. Tapi dipahamkan tentang bagaimana memilih dan memilah yang paling penting, cukup penting sampai ke hal yang tidak penting. Dan kalopun orang tua belum bisa menuhin apa yang anak minta, kasih pengertian ke anak dengan bahasa anak kalo belum bisa dan beri pendidikan tentang keinginan dan kebutuhan. Nahlo.. gue jadi kemana-mana nih ngomongnya..
Kembali ke laptop! *ala tukul arwana*
Dari kedua contoh itu, kita bisa ambil pendapat. Kalo seperti yang gue tulis diawal tulisan ini: “Setiap anak itu, apapun dan bagaimanapun dia.. berhak dapatkan pendidikan yang terbaik.”
Dan layak, kata temen gue waktu gue post statement itu di akun twitter. Coba deh dipikir lagi, bener kan? Gimanapun ia, anak itu ciptaan Tuhan juga.. sama. Jadi, menurut gue gada alasan buat ngebedain pendidikan anak, baik yang kita kata normal maupun yang tidak. Karna dengan pendidikan-lah seorang anak bis dibentuk kepribadian dan jatidirinya. Menjadi pribadi yang pantas untuk menghormati dan dihormati. Hanya dengan pendidikan yang “not only teach but also educate.”

Senin, 04 Februari 2013

Di Suatu Senja

Posted by : Ndug Ayu di 23.41 0 Comments



Pagi-pagi sekali aku diajak majikanku keluar dari tempat kediaman. Seperti aktifitas biasa, bekerja. Mengais rezeki dari pagi hingga petang. Kicauan burung masih terdengar sampai saat ini. Meski desa kami sudah mulai bergaya kota, tapi nuansa bening masih terasa menyelimuti. Majikanku adalah seorang laki-laki tua yang masih enerjik. Sayangnya ia hidup sebatang kara, tidak punya keturunan. Istrinya telah mendahului menghadap Sang Pencipta lima tahun yang lalu. Sungguh kasihan dan sangat kesepian dia. Hingga suatu saat yang lalu dia bertemu denganku di sebuah pasar, dan ia terlibat sebuah perbincangan dengan seorang laki-laki setengah baya. Majikanku yang pertama. Entah bagaimana, tiba-tiba dia mengajakku pulang ke rumahnya. Katanya, mulai saat itu aku akan bekerja bersamanya.
Sudah kujalani hidup dengannya lama, kurang lebih sepuluh tahun berlalu. Selama itu pun aku merasa cocok bekerjasama dengan dia. Ia jarang menuntut yang lebih dariku. Dia tahu dan paham akan keadaanku maupun kemampuanku dalam bekerja. Dia sering bercerita sedangkan aku cenderung diam dan mendengarkan apa yang ia ucap. Kegembiraan, keluh kesah, atau pun kekesalan. Aku dan dia sudah seperti saudara.
Seperti pagi ini, ia bercerita tentang kemajuan zaman sekarang. Semua serba instan dan tidak perlu susah-susah. Mulai dari saat dulu berkabar sesama dengan sepucuk surat yang lama sampainya, sekarang sudah ada alat kecil nan canggih yang bernama ponsel. Atau ketika dulu orang harus pergi ke sungai untuk mencuci baju, sekarang tanpa mengeluarkan banyak tenaga pun baju sudah bisa bersih dalam sekejap dengan mesin cuci. Ia juga berkeluh bagaimana kalau seandainya aku dan dia sudah tidak bekerja lagi. Mengingat usia yang semakin merenta dan senja.
Arloji Pak majikan menunjukkan pukul enam pagi. Kulihat Noni, seorang murid SMA duduk, membuka buku pelajarannya. Rambut panjangnya terikat ke belakang rapi. Noni terlihat pintar dengan kacamata yang bertahta di matanya. Anak yang manis dan rajin. Kemudian datang segerombolan  ibu-ibu setengah baya, mereka terlihat menyapa Pak majikan. Bercakap sebentar barangkali. Mereka baru selesai dari belanja. Kulihat ada beberapa kantong plastik di genggaman tangan mereka. Disusul seoarang bapak dan anak kecilnya, mungkin mereka mau pergi ke kota.
Aku dan Pak majikan mulai bekerja. Noni sudah memasuki area sekolahnya. Dia memasuki sekolah dengan riang, menyapa satpam sekolah dengan ramah. Selang berapa lama ibu yang pulang belanja tadi masuk ke pekarangan rumahnya. Dan seorang bapak dan anak kecil tadi sudah masuk ke sebuah bus menuju kota.
Sedangkan aku dan Pak majikan masih terlihat santai, aku pun belum terlalu lelah. Kami berjalan menyusuri jalan desa yang tidak sehalus jalan raya di kota. Karena memang jalan ini belum terpoles aspal secara sempurna. Tapi biar bagaimana pun kami tetap menikmati perjalanan ini. Sesekali majikanku menyenandungkan sebuah tembang kenangan, mengusir kebosanan. Meski suaranya berat dan jauh dari kata merdu, paling tidak dengan dia bernyanyi maka akan menambah keakraban kami.
Ternyata Pak majikan mengajakku ke sebuah lokasi. Tempat yang penuh dengan memori tentang dia dan istrinya. Ia menziarahi makam sang istri tercinta yang hanya berupa gundukan tanah. Tanpa ada bangunan pelindung dikala panas maupun hujan. Tanpa batu nisan yang terbuat dari marmer ataupun keramik. Hanya sebuah papan kayu sebagai penanda. Ia menatap lekat makam istrinya itu, kemudian tatap matanya menerawang jauh ke langit luas. Entah apa yang dipikirkannya. Hanya dia dan Dia yang tahu. Pak majikan mengajakku mampir ke sebuah sungai, karena tak jauh dari makam sang istri ada sebuah sungai yang masih jernih serta akses jalannya yang mudah. Gemericik riak airnya menggoda. Ia mengajakku bermain air, Pak majikan terlihat bahagia tanpa beban. Aku pun begitu. Aku senang jika Pak majikan bahagia. Kami bermain sampai basah kuyup. Pak majikan mengguyurku dengan banyak air, basah, tapi aku senang. Setelah dirasa cukup, kami akhirnya harus pulang. Matahari dengan garang menyengat.  

[to be continued...]









Poetry~

Posted by : Ndug Ayu di 23.35 0 Comments


Malam berselimut kelam,
Sendu berkawan mendung,
Tiada nampak purnamanya bulan,
Sama seperti ketiadaanmu disini..

Sepoi bayu tak lagi semilir,
Menusuk..  dingin..
Sapuan mata tak lepas dari bintang,
Mencari bintang kita yang tak berkedip,

Helaan nafas mulai memburu,
Sayu.. layu..
Sama seperti hati ini yang..
Merindu.. bayangmu..

Tanpa rasa kau terus,
Berjalan lurus, tegap..
Tak ingatkan aku sebagai kenangan,
Masa lalu.. sendu..

Tiada kata yang melukis,
Lukaku akan dirimu dan rindu..
Yang lama berlalu namun,
Tak jua bisa ku menyepi, sendiri..
                                                                                                        17 agustus 12 ----> rindu untukmu

NGUDA RASA…

Posted by : Ndug Ayu di 23.23 0 Comments


             Terkadang, ada untungnya juga kalo gw lagi maen ke kios bapak. Kios yang berjejer-jejer yang sering disebut ‘kios renteng’ ini berdekatan dengan pasar. Alhamdulillah kios bapak selalu ramai oleh pelanggan yang ingin memangkas rambutnya. Mulai dari adek bayi sampai ada yang dari bapak-bapak tentara gitu. Emang rezeki itu Allah yang ngatur yak? :)
            Kios bapak tuh sebenernya gede, mau dibikin rumah pun cukup, tapi berhubung belum sempet ditata ya keliatan sempit. Satu kios dibagi dua dengan ibu, sebelah untuk bapak memangkas dan sebelahnya lagi untuk ibu membordir. Alhamdulillah juga bordiran ibu ramai, meski pelanggannya gak banyak tapi pelanggan ibu tuh orang ‘piayi’ semua. Ada juga yang dari rias pengantin, jadi bikin bordirnya untuk baju-baju pengantin gitu.
            Udah jadi kebiasaan bapak tiap kali memangkas langganan yang udah akrab maupun baru aja datang ke tempat bapak, beliau pasti ngajakin ngobrol. Dan obrolannya pun macem-macem. Mulai dari harga pangan, harga ayam, harga tanah, politik dan lain-lain. Yang menarik buat gw disini, pendapat mereka (langganan bapak-red) tuh macem-macem juga semacem-macem obrolannya. :D Baru aja gw denger obrolan bapak dengan seorang guru, dan tentunya tentang pendidikan. Asyik juga dengernya, gw malah menangkap ide-ide problem solving gitu dari beliau-beliau. Masukan-masukan ato komentar-komentar yang ‘pas kena hati’.  Harusnya para ‘penggedhe’ tuh denger suara-suara ini.
            Bener sih mereka hanya rakyat biasa, awam tentang hal-hal kek gitu: politik, birokrasi dan segala macem, tapi toh ucapan mereka ada benernya juga. Mereka tak sepenuhnya buta hingga bisa dibodohi. Mereka bisa belajar walau hanya dengan mengamati, bahkan terkadang dengan mengamati itu kita lebih bisa mendapatkan sesuatu. Lagipula bukankah di Negara ini memberlakukan kebebasan berpendapat? Bukankah demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat? Bukankah wakil rakyat itu untuk mewakili rakyat? Sayangnya meski disini bebas berpendapat tapi pendapat itu jarang bahkan hampir tak didengar. Bukannya tak sengaja gak dengar, seringkali juga disengaja untuk gak mendengar. Percuma dong..
            Harusnya, harusnya sih.. siapapun yang ngomong, siapapun yang berpendapat, siapapun yang mengingatkan tuh didengerin selama yang dia ucapkan itu kebeneran, kebaikan. Seperti hadits Rasul, jangan lihat siapa yang berbicara tapi lihatlah apa yang dibicarakan. Seorang budak pun harus didengar jika iya mengatakan kebenaran dan kebaikan kok. :)

Buku vs Film

Posted by : Ndug Ayu di 23.18 0 Comments


“Generasi kita gak mempan dikasih tulisan, generasi kita tuh generasi whose gets philosophy by the movie.”

Quote itu gw dapet dari film ci(T)a. Bener juga kan, gw aja ngutip tuh quote dari film juga. Tapi kalo dipikirin, jaman sekarang minim banget minat baca masyarakat di Negeri ini. Kebanyakan yang hampir semua dari mereka lebih suka nongkrong di depan layar kaca untuk menyaksikan tayangan televisi. Entah sinetron yang rebutan anak, cinta dan harta , film horror yang bermodus seks, drama yang ada naga terbangnya ato bahkan iklan sekalipun. Film-film di sini juga mulai gencar menyajikan tayangan yang kalo bisa dia mencapai rating tinggi karna animo masyarakat. Sayangnya, film-film yang disajikan itu sedikit-banyak tidak bermutu dan bernilai edukasi tinggi. Ada sih edukasi tapi sebagai preman misalnya, ato kekerasan bahkan sampai pornografi dan aksi. Bukannya kualitas film di Negara ini buruk, hanya KURANG BAIK saja. Dan itu harusnya menjadi poin banget bagi yang berkutat di industri perfilman. Mulailah memproduksi film yang bernilai tinggi, tidak hanya nilai jual namun juga bernilai moral tinggi. Bukannya gw gak pernah suka film dari Negara ini, gw suka kok sama Laskar Pelangi, Merah Putih, Sang Pencerah, Nagabonar, dll. Bagus-bagus kok, dan gw bisa ambil beberapa filosofi dari situ.
Jaman sekarang jarang bisa menemui orang yang duduk di suatu tempat trus lagi bawa buku dan dibaca. Jarang banget. Kalopun ada yang duduk di suatu tempat bawaan mereka sekarang bukan buku (secara udah jaman canggih gitu) tapi HP, tablet, i-Phone, iPad, laptop, dll. Kalo lagi nungguin apa gitu, sibuk sama gadgetnya masing-masing. Sampe-sampe ada orang yang mau nyapa ato ngajakin ngobrolpun gak jadi. Gw sendiri juga kadang khilaf keranjingan nonton film Korea di laptop kalo ada waktu. Ck ck ck. Padahal buku itu bagus kok, kalo gw boleh bilang, baguuuuss banget. Membaca dengan menyentuh, mebalik halaman per-halaman itu lebih berkesan dan memiliki memoar yang kuat di ingatan kita. Buku, satu-satunya file yang gak bakal ke-delete­ (kecuali kalo kena air ato kebakar)--> tetep :D
Buku itu membuat imajinasi kita kreatif bener gak sih? Waktu gw baca buku Ayat-Ayat Cinta gw ngebayanginnya bagus, so sweet gitu. Tapi ketika gw lihat visualisasinya, jujur gw kecewa karna memang ada yang gak sesuai sama asli bukunya. Terbukti kan kalo buku itu WOW banget. Jadi sebuah catatan tersendiri buat gw waktu gw punya kenalan kakak tingkat yang kebetulan juga hobi baca.
“Aku lebih suka baca buku waktu nunggu ketimbang sms-an dan online.”
Gitu kata dia waktu gw buka-buka tas dan nemu bukunya Mira W. di dalem tas. Mulai saat itu juga gw punya niat bakal bawa buku at least satu judul kalo gw mau bepergian. Walopun tuh buku udah berkali-kali dibaca, tapi buku itu akan memunculkan makna tersendiri saat kita abaca kembali (diwaktu yang berbeda tentuya). Walhasil, sampe sekarang gw kalo kemana-mana bawa buku dan gak memungkiri juga kalo gw lagi pengen nonton film, gw juga nonton. Jadi, bukan hanya cinta tulisan aja tapi juga bisa menikmati film. ^^

education talking time~

Posted by : Ndug Ayu di 23.16 0 Comments


“Setiap anak itu, apapun dan bagaimanapun dia.. berhak dapatkan pendidikan yang terbaik.”

Seperti yang kita tau, di dunia ini gak hanya anak-anak yang ‘normal’ aja yang bisa mengenyam enaknya pendidikan. Normal dalam artian fisiknya, ekonominya, keadaannnya dan semua yang ‘normal’. Padahal, kalo kita keluar dari zona nyaman kita, diluar sana banyaaakk banget anak-anak yang—lemme say—gak normal. Gak normal disini dalam hal fisiknya, IQ-nya, ekonominya, keadaannya dan banyak juga faktor lain yang menyebabkan ia menjadi anak yang gak normal. Sehingga entah karena mindset masyarakat kita ato apa, yang memunculkan anggapan dan fakta kalo mereka kita tinggalkan, lupakan, dan sering masyarakat kita tuh kurang dan hampir tidak sadar kalo mereka sebenernya juga butuh dan punya hak untuk mendapatkan pendidikan.
Pernah gue baca berita di sebuah surat kabar, disitu diceritakan ada seorang kakek-kakek di China yang mendirikan sekolah untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus. Kebutuhan khusus disini dilihat dari segi fisik, IQ dan mental mereka. Bermula dari pengalaman cucunya yang tidak diterima di sekolah manapun di daerahnya, di sekolah berkebutuhan khusus yang ada sekalipun. Ia pun berusaha mendidik cucunya sendiri, ia belajar dan sekolah lagi untuk mendalami ilmu tentang pendidikan anak berkebutuhan hingga ia bisa mendirikan sekolah sendiri meski diawal pendirian, sekolah tersebut belum memiliki tempat yang permanen dan masalah pasti yaitu finansial. Sang kakek berfikir, meskipun cucunya mengalami keterlambatan mental, tapi ia berhak mendapatkan pendidikan untuk menanggulangi bukannya malah diabaikan. Tapi sayang, gue lupa nama kakek itu siapa. -_- bentar ya.. gugling dulu.. :D
Adalagi kisah, kemarin habis liat suatu acara di stasiun televisi swasta, dikisahkan anak ibu-ibu penjual gula aren itu putus sekolah dan mengalami gangguan jiwa karena frustasi putus sekolah. Putus sekolahnya sang anak bermula dari nunggaknya bayaran SPP selama 3 bulan, sang ibu mencoba membesarkan hati sang anak bahwa beliau akan segera membayar tunggakan tersebut. Tetapi, apa yang terjadi keesokan harinya adalah sang anak tidak diperkenankan masuk sekolah oleh gurunya lantaran tunggakan SPP tersebut belum dibayar. Padahal sang ibu sudah beri’tikad baik dan berusaha untuk segera membayar. Akhirnya sang anak pulang dan merasa down, ia bilang kepada ibunya kalau sudah tidak mau sekolah lagi. Sejak saat itu, entah karena diolok-olok teman atau apa, sang anak mengalami gangguan kejiwaan. Ironis memang, disaat semangat seseorang untuk belajar harus terhenti begitu saja karena hal—yang menurut gue—masih bisa diselesaikan dengan berbagai kebijakan. Hal itu bikin gue jadi mellow—beruntung ya gue masih bisa disekolahin oang tua sampe saat ini—ya, bersyukur.
Yang bikin gue miris, kenapa sang guru gak berusaha untuk bernegosiasi dengan pihak orang tua anak tadi mengenai tunggakan SPP. Kenapa langsung tidak mempebolehkan anak itu untuk masuk sekolah tanpa pengertian yang lebih halus atau yaa.. bisa disiasatilah.. kan si anak masih kecil. Masih SD. Kalo menurut gue, harusnya pihak sekolah itu, buat semua sekolah ajalah, kalo mau bicarain finansial tuh langsung sama orang tua aja deh. Biar sang anak tuh fokus sama pelajaran sama prestasi dia. Pendapat yang kaya gitu sebenernya gue denger dari guru SMA gue yang gue favorit-in dan gue setuju. Beliau berpendapat kalo anak itu gak semestinya tau tentang masalah finansial yang dihadapi para orang tua. Tapi dipahamkan tentang bagaimana memilih dan memilah yang paling penting, cukup penting sampai ke hal yang tidak penting. Dan kalopun orang tua belum bisa menuhin apa yang anak minta, kasih pengertian ke anak dengan bahasa anak kalo belum bisa dan beri pendidikan tentang keinginan dan kebutuhan. Nahlo.. gue jadi kemana-mana nih ngomongnya..
Kembali ke laptop! *ala tukul arwana*
Dari kedua contoh itu, kita bisa ambil pendapat. Kalo seperti yang gue tulis diawal tulisan ini: “Setiap anak itu, apapun dan bagaimanapun dia.. berhak dapatkan pendidikan yang terbaik.”
Dan layak, kata temen gue waktu gue post statement itu di akun twitter. Coba deh dipikir lagi, bener kan? Gimanapun ia, anak itu ciptaan Tuhan juga.. sama. Jadi, menurut gue gada alasan buat ngebedain pendidikan anak, baik yang kita kata normal maupun yang tidak. Karna dengan pendidikan-lah seorang anak bis dibentuk kepribadian dan jatidirinya. Menjadi pribadi yang pantas untuk menghormati dan dihormati. Hanya dengan pendidikan yang “not only teach but also educate.”