CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 05 Juni 2013

Dalang Galau Ngetwit's quotes


tangis dan tawamu hanya berlebihan saat kau lupa bahwa hidup cumalah akting dari naskah semesta yang belum kau baca dari SangMahaSutradara-#DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

naskah sutradara kita tahu di depan, naskah Tuhan kita tahu di belakang~ #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

yang membentuk karakter anak bukan pelajaran, tapi contoh konkrit orangtua, guru, siaran TV, pejabat, budaya berlalu-lintas, dll.. #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

perlu kesabaran tingkat Dewa ketika serius dibilang nyampah, romantis dibilang galau, berpendapat dibilang curhat.. #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

ikhlas itu di depan. kalau setelah kehilangan baru ikhlas, itu namanya kalah, kerennya pasrah.. #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

bagi yang suka tawuran, ingat kata Bung Karno: bebek selalu rame-rame, tapi elang terbang sendirian. #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

kalau kamu ikhlas, mungkin kamu nggak kaya. tapi setiap kali butuh, duit itu ada. #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

hidup itu melawan arus. hanya sampah dan ikan mati yang ikut arus. #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

di dalam monarki, hanya darah biru yang bisa jadi pemimpin. dalam demokrasi, hanya orang kaya atau orang miskin disponsori orang kaya yang bisa mimpin #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

cinta itu penjara dengan kerangkeng kasih sayang, maka kamu sering menangis tanpa merasa dibui. #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

Selasa, 26 Maret 2013

Di Suatu Senja [CONT]

Noni pulang dari sekolahnya, kulihat dia membawa beberapa gulungan kertas, mungkin itu tugas dari sekolah. Kulihat juga ada segerombolan anak perempuan seusia Noni, temannya mungkin, sedang ngobrol ngalo-ngidul. Bicara model, artis, gossip, ini, itu. Sungguh, asli sangat gaduh. Tiba-tiba segerombolan anak laki-laki sebaya mereka mendekat. Dan bertambah ributlah keadaan. Para lelaki itu dengan senang hati mengganggu mereka. Sedangkan mereka pun juga dengan senang hati mau diganggu. Sesekali gerombolan anak laki-laki itu mencoba menggoda Noni. Mengajaknya bicara, menyapa, bertanya, tapi Noni tetap acuh, tak peduli sama sekali. Diam-diam aku mengumpat, rasakan.. kalian pantas diacuhkan..
Aku salut dengan Noni yang bisa tegas terhadap gerombolan para lelaki itu. Pak majikan hanya bisa menggeleng kepala serta lirih bergumam,
“Dasar, anak muda zaman sekarang.”
Tak berapa lama, gerombolan anak-anak sekolah tadi sudah pergi. Tinggal Noni seorang yang ada.
“Paman, tidak letih kah Paman bekerja?” ucap Noni pada Pak majikan.
“Meskipun letih, Nak. Aku tetap tidak akan mengeluh.”
“Sungguh Paman, aku mengkhawatirkan keadaanmu dan rekanmu ini.” Ia mencoba mengutarakan isi hati.
“Yah, beginilah Nak. Mungkin memang sudah saatnya aku dan si coklat ini berhenti bekerja. Tapi, nanti kami ini mau dapat makan dari mana…” kesahnya. Dari raut mukanya tersirat rasa sedih dan gundah. Coklat, ia memanggilku dengan sebutan itu karena warna kulitku yang coklat tua. Ya, coklat yang tua. Kebisuan tercipta diantara kami. Noni memandang prihatin ke arah Pak majikan, juga memandangku barangkali.
“Ya sudah, Paman. Aku pulang dulu. Paman hati-hati di jalan ya… Ingatlah paman, pertolongan Allah itu dekat dan rencana-Nya selalu indah.” Noni mengucapkan kata pamitan.
“Ya Nak, kamu anak yang baik. Aku juga tahu Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Ucapnya, sesungging senyum pun menghiasi wajah rentanya yang dimakan waktu. Aku senang Pak majikan tidak terlalu berlarut dalam kesedihan.
“Aku pamit, Paman. Assalamu’alaikum.” Noni berjalan menyusuri gang menuju rumahnya.
“Wa’alaikumsalam…”
“Noni itu baik ya? Sekarang sudah jarang ada gadis yang masih santun sama orang tua.” Ucap Pak majikan memuji dan terlihat sayang. Aku pun diam-diam membenarkan pernyataannya dalam diam.
Aku dan pak majikan menikmati perjalanan pulang. Hari kian senja, matahari sudah di ufuk barat. Merah saga menghias langit senja temaram. Dan mungkin karena letih bekerja dari pagi hingga petang. Entah, aku merasa tiba-tiba tidak enak badan. Aku seperti tak kuat lagi untuk melanjutkan perjalanan sedangkan jalan menuju rumah masih lumayan jauh. Berulang kali Pak majikan menyemangatiku untuk bertahan. Aku pun tak ingin menyusahkan Pak majikan, tapi apa daya. Kekuatan bertahanku semakin lama semakin menipis, habis bahkan.
Saking lemahnya, aku pun tergelincir, dan jatuh tersungkur ke dalam jurang yang curam. Pak majikan tak sanggup lagi mengendalikanku. Aku merasa bersalah, harusnya dia tidak ikut jatuh bersamaku. Kurasakan kepalanya terbentur setirku. Darah segar menetes membasahi kerah bajunya. Aku terguling beberapa kali, dan Pak majikan berkali-kali melafadzkan nama Allah. Kulihat ia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi.
“Allah… Allah… Laa illa ha illallah…” samar kudengar ia melafadzkan tahlil. Dan aku pun sekarat. Pak majikan memejamkan matanya, rapat. Aku tahu Sang Pencipta telah memanggilnya. Inikah rencana-Nya? Ya, inilah rencana indah-Nya. Aku telah menjadi sebuah rongsokan yang masuk ke dalam jurang dalam peristiwa kecelakaan tunggal.

------------------- * -- * -------------------

Keesokan hari, pagi seperti biasa. Tapi tidak untuk pagi ini. Pagi kali ini tidak ada lagi Pak Hasyim dengan kol coklat tuanya. Berita duka telah menyebar bahwa Pak Hasyim dan kol tuanya kecelakaan masuk jurang karena ban kol coklat yang tergelincir. Tidak ada lagi yang mengantar ibu-ibu itu pergi ke pasar, dan juga Noni. Tidak ada lagi yang mengantar Noni ke sekolah. Noni teringat ucapan Pak Hasyim tentang berhenti bekerja.
“Mungkin memang sudah saatnya aku dan si coklat ini berhenti bekerja…” Sekarang Noni tak tahu harus naik apa lagi untuk pergi ke sekolah, karena memang akses jalan yang sulit di desa ini. Dengan pias ia berjalan berangkat ke sekolah lebih pagi sekali. Ya, kembali jalan kaki.

The End

Senin, 04 Februari 2013

Di Suatu Senja



Pagi-pagi sekali aku diajak majikanku keluar dari tempat kediaman. Seperti aktifitas biasa, bekerja. Mengais rezeki dari pagi hingga petang. Kicauan burung masih terdengar sampai saat ini. Meski desa kami sudah mulai bergaya kota, tapi nuansa bening masih terasa menyelimuti. Majikanku adalah seorang laki-laki tua yang masih enerjik. Sayangnya ia hidup sebatang kara, tidak punya keturunan. Istrinya telah mendahului menghadap Sang Pencipta lima tahun yang lalu. Sungguh kasihan dan sangat kesepian dia. Hingga suatu saat yang lalu dia bertemu denganku di sebuah pasar, dan ia terlibat sebuah perbincangan dengan seorang laki-laki setengah baya. Majikanku yang pertama. Entah bagaimana, tiba-tiba dia mengajakku pulang ke rumahnya. Katanya, mulai saat itu aku akan bekerja bersamanya.
Sudah kujalani hidup dengannya lama, kurang lebih sepuluh tahun berlalu. Selama itu pun aku merasa cocok bekerjasama dengan dia. Ia jarang menuntut yang lebih dariku. Dia tahu dan paham akan keadaanku maupun kemampuanku dalam bekerja. Dia sering bercerita sedangkan aku cenderung diam dan mendengarkan apa yang ia ucap. Kegembiraan, keluh kesah, atau pun kekesalan. Aku dan dia sudah seperti saudara.
Seperti pagi ini, ia bercerita tentang kemajuan zaman sekarang. Semua serba instan dan tidak perlu susah-susah. Mulai dari saat dulu berkabar sesama dengan sepucuk surat yang lama sampainya, sekarang sudah ada alat kecil nan canggih yang bernama ponsel. Atau ketika dulu orang harus pergi ke sungai untuk mencuci baju, sekarang tanpa mengeluarkan banyak tenaga pun baju sudah bisa bersih dalam sekejap dengan mesin cuci. Ia juga berkeluh bagaimana kalau seandainya aku dan dia sudah tidak bekerja lagi. Mengingat usia yang semakin merenta dan senja.
Arloji Pak majikan menunjukkan pukul enam pagi. Kulihat Noni, seorang murid SMA duduk, membuka buku pelajarannya. Rambut panjangnya terikat ke belakang rapi. Noni terlihat pintar dengan kacamata yang bertahta di matanya. Anak yang manis dan rajin. Kemudian datang segerombolan  ibu-ibu setengah baya, mereka terlihat menyapa Pak majikan. Bercakap sebentar barangkali. Mereka baru selesai dari belanja. Kulihat ada beberapa kantong plastik di genggaman tangan mereka. Disusul seoarang bapak dan anak kecilnya, mungkin mereka mau pergi ke kota.
Aku dan Pak majikan mulai bekerja. Noni sudah memasuki area sekolahnya. Dia memasuki sekolah dengan riang, menyapa satpam sekolah dengan ramah. Selang berapa lama ibu yang pulang belanja tadi masuk ke pekarangan rumahnya. Dan seorang bapak dan anak kecil tadi sudah masuk ke sebuah bus menuju kota.
Sedangkan aku dan Pak majikan masih terlihat santai, aku pun belum terlalu lelah. Kami berjalan menyusuri jalan desa yang tidak sehalus jalan raya di kota. Karena memang jalan ini belum terpoles aspal secara sempurna. Tapi biar bagaimana pun kami tetap menikmati perjalanan ini. Sesekali majikanku menyenandungkan sebuah tembang kenangan, mengusir kebosanan. Meski suaranya berat dan jauh dari kata merdu, paling tidak dengan dia bernyanyi maka akan menambah keakraban kami.
Ternyata Pak majikan mengajakku ke sebuah lokasi. Tempat yang penuh dengan memori tentang dia dan istrinya. Ia menziarahi makam sang istri tercinta yang hanya berupa gundukan tanah. Tanpa ada bangunan pelindung dikala panas maupun hujan. Tanpa batu nisan yang terbuat dari marmer ataupun keramik. Hanya sebuah papan kayu sebagai penanda. Ia menatap lekat makam istrinya itu, kemudian tatap matanya menerawang jauh ke langit luas. Entah apa yang dipikirkannya. Hanya dia dan Dia yang tahu. Pak majikan mengajakku mampir ke sebuah sungai, karena tak jauh dari makam sang istri ada sebuah sungai yang masih jernih serta akses jalannya yang mudah. Gemericik riak airnya menggoda. Ia mengajakku bermain air, Pak majikan terlihat bahagia tanpa beban. Aku pun begitu. Aku senang jika Pak majikan bahagia. Kami bermain sampai basah kuyup. Pak majikan mengguyurku dengan banyak air, basah, tapi aku senang. Setelah dirasa cukup, kami akhirnya harus pulang. Matahari dengan garang menyengat.  

[to be continued...]









Poetry~


Malam berselimut kelam,
Sendu berkawan mendung,
Tiada nampak purnamanya bulan,
Sama seperti ketiadaanmu disini..

Sepoi bayu tak lagi semilir,
Menusuk..  dingin..
Sapuan mata tak lepas dari bintang,
Mencari bintang kita yang tak berkedip,

Helaan nafas mulai memburu,
Sayu.. layu..
Sama seperti hati ini yang..
Merindu.. bayangmu..

Tanpa rasa kau terus,
Berjalan lurus, tegap..
Tak ingatkan aku sebagai kenangan,
Masa lalu.. sendu..

Tiada kata yang melukis,
Lukaku akan dirimu dan rindu..
Yang lama berlalu namun,
Tak jua bisa ku menyepi, sendiri..
                                                                                                        17 agustus 12 ----> rindu untukmu

NGUDA RASA…


             Terkadang, ada untungnya juga kalo gw lagi maen ke kios bapak. Kios yang berjejer-jejer yang sering disebut ‘kios renteng’ ini berdekatan dengan pasar. Alhamdulillah kios bapak selalu ramai oleh pelanggan yang ingin memangkas rambutnya. Mulai dari adek bayi sampai ada yang dari bapak-bapak tentara gitu. Emang rezeki itu Allah yang ngatur yak? :)
            Kios bapak tuh sebenernya gede, mau dibikin rumah pun cukup, tapi berhubung belum sempet ditata ya keliatan sempit. Satu kios dibagi dua dengan ibu, sebelah untuk bapak memangkas dan sebelahnya lagi untuk ibu membordir. Alhamdulillah juga bordiran ibu ramai, meski pelanggannya gak banyak tapi pelanggan ibu tuh orang ‘piayi’ semua. Ada juga yang dari rias pengantin, jadi bikin bordirnya untuk baju-baju pengantin gitu.
            Udah jadi kebiasaan bapak tiap kali memangkas langganan yang udah akrab maupun baru aja datang ke tempat bapak, beliau pasti ngajakin ngobrol. Dan obrolannya pun macem-macem. Mulai dari harga pangan, harga ayam, harga tanah, politik dan lain-lain. Yang menarik buat gw disini, pendapat mereka (langganan bapak-red) tuh macem-macem juga semacem-macem obrolannya. :D Baru aja gw denger obrolan bapak dengan seorang guru, dan tentunya tentang pendidikan. Asyik juga dengernya, gw malah menangkap ide-ide problem solving gitu dari beliau-beliau. Masukan-masukan ato komentar-komentar yang ‘pas kena hati’.  Harusnya para ‘penggedhe’ tuh denger suara-suara ini.
            Bener sih mereka hanya rakyat biasa, awam tentang hal-hal kek gitu: politik, birokrasi dan segala macem, tapi toh ucapan mereka ada benernya juga. Mereka tak sepenuhnya buta hingga bisa dibodohi. Mereka bisa belajar walau hanya dengan mengamati, bahkan terkadang dengan mengamati itu kita lebih bisa mendapatkan sesuatu. Lagipula bukankah di Negara ini memberlakukan kebebasan berpendapat? Bukankah demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat? Bukankah wakil rakyat itu untuk mewakili rakyat? Sayangnya meski disini bebas berpendapat tapi pendapat itu jarang bahkan hampir tak didengar. Bukannya tak sengaja gak dengar, seringkali juga disengaja untuk gak mendengar. Percuma dong..
            Harusnya, harusnya sih.. siapapun yang ngomong, siapapun yang berpendapat, siapapun yang mengingatkan tuh didengerin selama yang dia ucapkan itu kebeneran, kebaikan. Seperti hadits Rasul, jangan lihat siapa yang berbicara tapi lihatlah apa yang dibicarakan. Seorang budak pun harus didengar jika iya mengatakan kebenaran dan kebaikan kok. :)

Rabu, 05 Juni 2013

Dalang Galau Ngetwit's quotes

Posted by : Ndug Ayu di 15.26 0 Comments


tangis dan tawamu hanya berlebihan saat kau lupa bahwa hidup cumalah akting dari naskah semesta yang belum kau baca dari SangMahaSutradara-#DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

naskah sutradara kita tahu di depan, naskah Tuhan kita tahu di belakang~ #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

yang membentuk karakter anak bukan pelajaran, tapi contoh konkrit orangtua, guru, siaran TV, pejabat, budaya berlalu-lintas, dll.. #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

perlu kesabaran tingkat Dewa ketika serius dibilang nyampah, romantis dibilang galau, berpendapat dibilang curhat.. #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

ikhlas itu di depan. kalau setelah kehilangan baru ikhlas, itu namanya kalah, kerennya pasrah.. #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

bagi yang suka tawuran, ingat kata Bung Karno: bebek selalu rame-rame, tapi elang terbang sendirian. #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

kalau kamu ikhlas, mungkin kamu nggak kaya. tapi setiap kali butuh, duit itu ada. #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

hidup itu melawan arus. hanya sampah dan ikan mati yang ikut arus. #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

di dalam monarki, hanya darah biru yang bisa jadi pemimpin. dalam demokrasi, hanya orang kaya atau orang miskin disponsori orang kaya yang bisa mimpin #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

cinta itu penjara dengan kerangkeng kasih sayang, maka kamu sering menangis tanpa merasa dibui. #DalangGalauNgetwit @sudjiwotedjo

Selasa, 26 Maret 2013

Di Suatu Senja [CONT]

Posted by : Ndug Ayu di 19.37 0 Comments

Noni pulang dari sekolahnya, kulihat dia membawa beberapa gulungan kertas, mungkin itu tugas dari sekolah. Kulihat juga ada segerombolan anak perempuan seusia Noni, temannya mungkin, sedang ngobrol ngalo-ngidul. Bicara model, artis, gossip, ini, itu. Sungguh, asli sangat gaduh. Tiba-tiba segerombolan anak laki-laki sebaya mereka mendekat. Dan bertambah ributlah keadaan. Para lelaki itu dengan senang hati mengganggu mereka. Sedangkan mereka pun juga dengan senang hati mau diganggu. Sesekali gerombolan anak laki-laki itu mencoba menggoda Noni. Mengajaknya bicara, menyapa, bertanya, tapi Noni tetap acuh, tak peduli sama sekali. Diam-diam aku mengumpat, rasakan.. kalian pantas diacuhkan..
Aku salut dengan Noni yang bisa tegas terhadap gerombolan para lelaki itu. Pak majikan hanya bisa menggeleng kepala serta lirih bergumam,
“Dasar, anak muda zaman sekarang.”
Tak berapa lama, gerombolan anak-anak sekolah tadi sudah pergi. Tinggal Noni seorang yang ada.
“Paman, tidak letih kah Paman bekerja?” ucap Noni pada Pak majikan.
“Meskipun letih, Nak. Aku tetap tidak akan mengeluh.”
“Sungguh Paman, aku mengkhawatirkan keadaanmu dan rekanmu ini.” Ia mencoba mengutarakan isi hati.
“Yah, beginilah Nak. Mungkin memang sudah saatnya aku dan si coklat ini berhenti bekerja. Tapi, nanti kami ini mau dapat makan dari mana…” kesahnya. Dari raut mukanya tersirat rasa sedih dan gundah. Coklat, ia memanggilku dengan sebutan itu karena warna kulitku yang coklat tua. Ya, coklat yang tua. Kebisuan tercipta diantara kami. Noni memandang prihatin ke arah Pak majikan, juga memandangku barangkali.
“Ya sudah, Paman. Aku pulang dulu. Paman hati-hati di jalan ya… Ingatlah paman, pertolongan Allah itu dekat dan rencana-Nya selalu indah.” Noni mengucapkan kata pamitan.
“Ya Nak, kamu anak yang baik. Aku juga tahu Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Ucapnya, sesungging senyum pun menghiasi wajah rentanya yang dimakan waktu. Aku senang Pak majikan tidak terlalu berlarut dalam kesedihan.
“Aku pamit, Paman. Assalamu’alaikum.” Noni berjalan menyusuri gang menuju rumahnya.
“Wa’alaikumsalam…”
“Noni itu baik ya? Sekarang sudah jarang ada gadis yang masih santun sama orang tua.” Ucap Pak majikan memuji dan terlihat sayang. Aku pun diam-diam membenarkan pernyataannya dalam diam.
Aku dan pak majikan menikmati perjalanan pulang. Hari kian senja, matahari sudah di ufuk barat. Merah saga menghias langit senja temaram. Dan mungkin karena letih bekerja dari pagi hingga petang. Entah, aku merasa tiba-tiba tidak enak badan. Aku seperti tak kuat lagi untuk melanjutkan perjalanan sedangkan jalan menuju rumah masih lumayan jauh. Berulang kali Pak majikan menyemangatiku untuk bertahan. Aku pun tak ingin menyusahkan Pak majikan, tapi apa daya. Kekuatan bertahanku semakin lama semakin menipis, habis bahkan.
Saking lemahnya, aku pun tergelincir, dan jatuh tersungkur ke dalam jurang yang curam. Pak majikan tak sanggup lagi mengendalikanku. Aku merasa bersalah, harusnya dia tidak ikut jatuh bersamaku. Kurasakan kepalanya terbentur setirku. Darah segar menetes membasahi kerah bajunya. Aku terguling beberapa kali, dan Pak majikan berkali-kali melafadzkan nama Allah. Kulihat ia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi.
“Allah… Allah… Laa illa ha illallah…” samar kudengar ia melafadzkan tahlil. Dan aku pun sekarat. Pak majikan memejamkan matanya, rapat. Aku tahu Sang Pencipta telah memanggilnya. Inikah rencana-Nya? Ya, inilah rencana indah-Nya. Aku telah menjadi sebuah rongsokan yang masuk ke dalam jurang dalam peristiwa kecelakaan tunggal.

------------------- * -- * -------------------

Keesokan hari, pagi seperti biasa. Tapi tidak untuk pagi ini. Pagi kali ini tidak ada lagi Pak Hasyim dengan kol coklat tuanya. Berita duka telah menyebar bahwa Pak Hasyim dan kol tuanya kecelakaan masuk jurang karena ban kol coklat yang tergelincir. Tidak ada lagi yang mengantar ibu-ibu itu pergi ke pasar, dan juga Noni. Tidak ada lagi yang mengantar Noni ke sekolah. Noni teringat ucapan Pak Hasyim tentang berhenti bekerja.
“Mungkin memang sudah saatnya aku dan si coklat ini berhenti bekerja…” Sekarang Noni tak tahu harus naik apa lagi untuk pergi ke sekolah, karena memang akses jalan yang sulit di desa ini. Dengan pias ia berjalan berangkat ke sekolah lebih pagi sekali. Ya, kembali jalan kaki.

The End

Senin, 04 Februari 2013

Di Suatu Senja

Posted by : Ndug Ayu di 23.41 0 Comments



Pagi-pagi sekali aku diajak majikanku keluar dari tempat kediaman. Seperti aktifitas biasa, bekerja. Mengais rezeki dari pagi hingga petang. Kicauan burung masih terdengar sampai saat ini. Meski desa kami sudah mulai bergaya kota, tapi nuansa bening masih terasa menyelimuti. Majikanku adalah seorang laki-laki tua yang masih enerjik. Sayangnya ia hidup sebatang kara, tidak punya keturunan. Istrinya telah mendahului menghadap Sang Pencipta lima tahun yang lalu. Sungguh kasihan dan sangat kesepian dia. Hingga suatu saat yang lalu dia bertemu denganku di sebuah pasar, dan ia terlibat sebuah perbincangan dengan seorang laki-laki setengah baya. Majikanku yang pertama. Entah bagaimana, tiba-tiba dia mengajakku pulang ke rumahnya. Katanya, mulai saat itu aku akan bekerja bersamanya.
Sudah kujalani hidup dengannya lama, kurang lebih sepuluh tahun berlalu. Selama itu pun aku merasa cocok bekerjasama dengan dia. Ia jarang menuntut yang lebih dariku. Dia tahu dan paham akan keadaanku maupun kemampuanku dalam bekerja. Dia sering bercerita sedangkan aku cenderung diam dan mendengarkan apa yang ia ucap. Kegembiraan, keluh kesah, atau pun kekesalan. Aku dan dia sudah seperti saudara.
Seperti pagi ini, ia bercerita tentang kemajuan zaman sekarang. Semua serba instan dan tidak perlu susah-susah. Mulai dari saat dulu berkabar sesama dengan sepucuk surat yang lama sampainya, sekarang sudah ada alat kecil nan canggih yang bernama ponsel. Atau ketika dulu orang harus pergi ke sungai untuk mencuci baju, sekarang tanpa mengeluarkan banyak tenaga pun baju sudah bisa bersih dalam sekejap dengan mesin cuci. Ia juga berkeluh bagaimana kalau seandainya aku dan dia sudah tidak bekerja lagi. Mengingat usia yang semakin merenta dan senja.
Arloji Pak majikan menunjukkan pukul enam pagi. Kulihat Noni, seorang murid SMA duduk, membuka buku pelajarannya. Rambut panjangnya terikat ke belakang rapi. Noni terlihat pintar dengan kacamata yang bertahta di matanya. Anak yang manis dan rajin. Kemudian datang segerombolan  ibu-ibu setengah baya, mereka terlihat menyapa Pak majikan. Bercakap sebentar barangkali. Mereka baru selesai dari belanja. Kulihat ada beberapa kantong plastik di genggaman tangan mereka. Disusul seoarang bapak dan anak kecilnya, mungkin mereka mau pergi ke kota.
Aku dan Pak majikan mulai bekerja. Noni sudah memasuki area sekolahnya. Dia memasuki sekolah dengan riang, menyapa satpam sekolah dengan ramah. Selang berapa lama ibu yang pulang belanja tadi masuk ke pekarangan rumahnya. Dan seorang bapak dan anak kecil tadi sudah masuk ke sebuah bus menuju kota.
Sedangkan aku dan Pak majikan masih terlihat santai, aku pun belum terlalu lelah. Kami berjalan menyusuri jalan desa yang tidak sehalus jalan raya di kota. Karena memang jalan ini belum terpoles aspal secara sempurna. Tapi biar bagaimana pun kami tetap menikmati perjalanan ini. Sesekali majikanku menyenandungkan sebuah tembang kenangan, mengusir kebosanan. Meski suaranya berat dan jauh dari kata merdu, paling tidak dengan dia bernyanyi maka akan menambah keakraban kami.
Ternyata Pak majikan mengajakku ke sebuah lokasi. Tempat yang penuh dengan memori tentang dia dan istrinya. Ia menziarahi makam sang istri tercinta yang hanya berupa gundukan tanah. Tanpa ada bangunan pelindung dikala panas maupun hujan. Tanpa batu nisan yang terbuat dari marmer ataupun keramik. Hanya sebuah papan kayu sebagai penanda. Ia menatap lekat makam istrinya itu, kemudian tatap matanya menerawang jauh ke langit luas. Entah apa yang dipikirkannya. Hanya dia dan Dia yang tahu. Pak majikan mengajakku mampir ke sebuah sungai, karena tak jauh dari makam sang istri ada sebuah sungai yang masih jernih serta akses jalannya yang mudah. Gemericik riak airnya menggoda. Ia mengajakku bermain air, Pak majikan terlihat bahagia tanpa beban. Aku pun begitu. Aku senang jika Pak majikan bahagia. Kami bermain sampai basah kuyup. Pak majikan mengguyurku dengan banyak air, basah, tapi aku senang. Setelah dirasa cukup, kami akhirnya harus pulang. Matahari dengan garang menyengat.  

[to be continued...]









Poetry~

Posted by : Ndug Ayu di 23.35 0 Comments


Malam berselimut kelam,
Sendu berkawan mendung,
Tiada nampak purnamanya bulan,
Sama seperti ketiadaanmu disini..

Sepoi bayu tak lagi semilir,
Menusuk..  dingin..
Sapuan mata tak lepas dari bintang,
Mencari bintang kita yang tak berkedip,

Helaan nafas mulai memburu,
Sayu.. layu..
Sama seperti hati ini yang..
Merindu.. bayangmu..

Tanpa rasa kau terus,
Berjalan lurus, tegap..
Tak ingatkan aku sebagai kenangan,
Masa lalu.. sendu..

Tiada kata yang melukis,
Lukaku akan dirimu dan rindu..
Yang lama berlalu namun,
Tak jua bisa ku menyepi, sendiri..
                                                                                                        17 agustus 12 ----> rindu untukmu

NGUDA RASA…

Posted by : Ndug Ayu di 23.23 0 Comments


             Terkadang, ada untungnya juga kalo gw lagi maen ke kios bapak. Kios yang berjejer-jejer yang sering disebut ‘kios renteng’ ini berdekatan dengan pasar. Alhamdulillah kios bapak selalu ramai oleh pelanggan yang ingin memangkas rambutnya. Mulai dari adek bayi sampai ada yang dari bapak-bapak tentara gitu. Emang rezeki itu Allah yang ngatur yak? :)
            Kios bapak tuh sebenernya gede, mau dibikin rumah pun cukup, tapi berhubung belum sempet ditata ya keliatan sempit. Satu kios dibagi dua dengan ibu, sebelah untuk bapak memangkas dan sebelahnya lagi untuk ibu membordir. Alhamdulillah juga bordiran ibu ramai, meski pelanggannya gak banyak tapi pelanggan ibu tuh orang ‘piayi’ semua. Ada juga yang dari rias pengantin, jadi bikin bordirnya untuk baju-baju pengantin gitu.
            Udah jadi kebiasaan bapak tiap kali memangkas langganan yang udah akrab maupun baru aja datang ke tempat bapak, beliau pasti ngajakin ngobrol. Dan obrolannya pun macem-macem. Mulai dari harga pangan, harga ayam, harga tanah, politik dan lain-lain. Yang menarik buat gw disini, pendapat mereka (langganan bapak-red) tuh macem-macem juga semacem-macem obrolannya. :D Baru aja gw denger obrolan bapak dengan seorang guru, dan tentunya tentang pendidikan. Asyik juga dengernya, gw malah menangkap ide-ide problem solving gitu dari beliau-beliau. Masukan-masukan ato komentar-komentar yang ‘pas kena hati’.  Harusnya para ‘penggedhe’ tuh denger suara-suara ini.
            Bener sih mereka hanya rakyat biasa, awam tentang hal-hal kek gitu: politik, birokrasi dan segala macem, tapi toh ucapan mereka ada benernya juga. Mereka tak sepenuhnya buta hingga bisa dibodohi. Mereka bisa belajar walau hanya dengan mengamati, bahkan terkadang dengan mengamati itu kita lebih bisa mendapatkan sesuatu. Lagipula bukankah di Negara ini memberlakukan kebebasan berpendapat? Bukankah demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat? Bukankah wakil rakyat itu untuk mewakili rakyat? Sayangnya meski disini bebas berpendapat tapi pendapat itu jarang bahkan hampir tak didengar. Bukannya tak sengaja gak dengar, seringkali juga disengaja untuk gak mendengar. Percuma dong..
            Harusnya, harusnya sih.. siapapun yang ngomong, siapapun yang berpendapat, siapapun yang mengingatkan tuh didengerin selama yang dia ucapkan itu kebeneran, kebaikan. Seperti hadits Rasul, jangan lihat siapa yang berbicara tapi lihatlah apa yang dibicarakan. Seorang budak pun harus didengar jika iya mengatakan kebenaran dan kebaikan kok. :)