Noni
pulang dari sekolahnya, kulihat dia membawa beberapa gulungan kertas, mungkin
itu tugas dari sekolah. Kulihat juga ada segerombolan anak perempuan seusia
Noni, temannya mungkin, sedang ngobrol ngalo-ngidul.
Bicara model, artis, gossip, ini, itu. Sungguh, asli sangat gaduh. Tiba-tiba
segerombolan anak laki-laki sebaya mereka mendekat. Dan bertambah ributlah
keadaan. Para lelaki itu dengan senang hati mengganggu mereka. Sedangkan mereka
pun juga dengan senang hati mau diganggu. Sesekali gerombolan anak laki-laki
itu mencoba menggoda Noni. Mengajaknya bicara, menyapa, bertanya, tapi Noni
tetap acuh, tak peduli sama sekali. Diam-diam aku mengumpat, rasakan.. kalian pantas diacuhkan..
Aku
salut dengan Noni yang bisa tegas terhadap gerombolan para lelaki itu. Pak majikan
hanya bisa menggeleng kepala serta lirih bergumam,
“Dasar,
anak muda zaman sekarang.”
Tak
berapa lama, gerombolan anak-anak sekolah tadi sudah pergi. Tinggal Noni seorang
yang ada.
“Paman,
tidak letih kah Paman bekerja?” ucap Noni pada Pak majikan.
“Meskipun
letih, Nak. Aku tetap tidak akan mengeluh.”
“Sungguh
Paman, aku mengkhawatirkan keadaanmu dan rekanmu ini.” Ia mencoba mengutarakan
isi hati.
“Yah,
beginilah Nak. Mungkin memang sudah saatnya aku dan si coklat ini berhenti
bekerja. Tapi, nanti kami ini mau dapat makan dari mana…” kesahnya. Dari raut
mukanya tersirat rasa sedih dan gundah. Coklat, ia memanggilku dengan sebutan
itu karena warna kulitku yang coklat tua. Ya, coklat yang tua. Kebisuan
tercipta diantara kami. Noni memandang prihatin ke arah Pak majikan, juga
memandangku barangkali.
“Ya
sudah, Paman. Aku pulang dulu. Paman hati-hati di jalan ya… Ingatlah paman,
pertolongan Allah itu dekat dan rencana-Nya selalu indah.” Noni mengucapkan
kata pamitan.
“Ya
Nak, kamu anak yang baik. Aku juga tahu Allah itu Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.” Ucapnya, sesungging senyum pun menghiasi wajah rentanya yang
dimakan waktu. Aku senang Pak majikan tidak terlalu berlarut dalam kesedihan.
“Aku
pamit, Paman. Assalamu’alaikum.” Noni berjalan menyusuri gang menuju rumahnya.
“Wa’alaikumsalam…”
“Noni
itu baik ya? Sekarang sudah jarang ada gadis yang masih santun sama orang tua.”
Ucap Pak majikan memuji dan terlihat sayang. Aku pun diam-diam membenarkan
pernyataannya dalam diam.
Aku
dan pak majikan menikmati perjalanan pulang. Hari kian senja, matahari sudah di
ufuk barat. Merah saga menghias langit senja temaram. Dan mungkin karena letih
bekerja dari pagi hingga petang. Entah, aku merasa tiba-tiba tidak enak badan.
Aku seperti tak kuat lagi untuk melanjutkan perjalanan sedangkan jalan menuju
rumah masih lumayan jauh. Berulang kali Pak majikan menyemangatiku untuk
bertahan. Aku pun tak ingin menyusahkan Pak majikan, tapi apa daya. Kekuatan
bertahanku semakin lama semakin menipis, habis bahkan.
Saking
lemahnya, aku pun tergelincir, dan jatuh tersungkur ke dalam jurang yang curam.
Pak majikan tak sanggup lagi mengendalikanku. Aku merasa bersalah, harusnya dia
tidak ikut jatuh bersamaku. Kurasakan kepalanya terbentur setirku. Darah segar
menetes membasahi kerah bajunya. Aku terguling beberapa kali, dan Pak majikan
berkali-kali melafadzkan nama Allah. Kulihat ia sudah pasrah dengan apa yang
akan terjadi.
“Allah…
Allah… Laa illa ha illallah…” samar kudengar ia melafadzkan tahlil. Dan aku pun
sekarat. Pak majikan memejamkan matanya, rapat. Aku tahu Sang Pencipta telah
memanggilnya. Inikah rencana-Nya? Ya, inilah rencana indah-Nya. Aku telah
menjadi sebuah rongsokan yang masuk ke dalam jurang dalam peristiwa kecelakaan
tunggal.
-------------------
* -- * -------------------
Keesokan
hari, pagi seperti biasa. Tapi tidak untuk pagi ini. Pagi kali ini tidak ada
lagi Pak Hasyim dengan kol coklat tuanya. Berita duka telah menyebar bahwa Pak
Hasyim dan kol tuanya kecelakaan masuk jurang karena ban kol coklat yang
tergelincir. Tidak ada lagi yang mengantar ibu-ibu itu pergi ke pasar, dan juga
Noni. Tidak ada lagi yang mengantar Noni ke sekolah. Noni teringat ucapan Pak
Hasyim tentang berhenti bekerja.
“Mungkin memang sudah saatnya aku
dan si coklat ini berhenti bekerja…” Sekarang Noni tak tahu
harus naik apa lagi untuk pergi ke sekolah, karena memang akses jalan yang
sulit di desa ini. Dengan pias ia berjalan berangkat ke sekolah lebih pagi
sekali. Ya, kembali jalan kaki.
The End